Saturday, August 2, 2025
home_banner_first
NASIONAL

Abolisi dan Amnesti Disetujui DPR, Langkah Presiden Prabowo Picu Kontroversi?

journalist-avatar-top
Jumat, 1 Agustus 2025 08.46
abolisi_dan_amnesti_disetujui_dpr_langkah_presiden_prabowo_picu_kontroversi

Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong. (foto:corner/mistar)

news_banner

Pematangsiantar, MISTAR.ID

Presiden Prabowo Subianto mengusulkan pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong dan amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Usulan tersebut telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 31 Juli 2025, dan saat ini tinggal menunggu penerbitan Keputusan Presiden (Keppres).

Mengenal Abolisi dan Amnesti

Abolisi merupakan penghentian proses hukum terhadap seseorang sebelum vonis berkekuatan hukum tetap dijatuhkan. Dalam kasus ini, Tom Lembong dibebaskan dari proses hukum meskipun masih menjalani banding atas vonis 4,5 tahun penjara terkait perkara impor gula.

Sementara itu, amnesti adalah pengampunan atas tindak pidana tertentu, biasanya bersifat kolektif dan politis. Hasto Kristiyanto, yang divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap terkait pergantian antar waktu (PAW) Harun Masiku, termasuk dalam daftar 1.116 penerima amnesti yang diajukan.

Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa keputusan tersebut mempertimbangkan kontribusi keduanya terhadap negara serta bertujuan membangun kohesi politik nasional menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia.

Disetujui Kilat, Kritik Publik Meningkat

Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan bahwa semua fraksi di DPR menyetujui usulan tersebut hanya satu hari setelah surat presiden diajukan. Proses cepat ini menimbulkan sorotan tajam dari berbagai pihak yang menilai bahwa keputusan tersebut minim transparansi dan akuntabilitas publik.

Sejumlah ahli hukum pidana dan tata negara mengingatkan bahwa abolisi dan amnesti merupakan remedi hukum luar biasa yang harus digunakan dengan penuh kehati-hatian dan keterbukaan. Pemberian abolisi kepada Tom Lembong dipertanyakan karena tidak terdapat indikasi bahwa ia menjadi korban kriminalisasi atau menghadapi ketidakadilan sistemik.

Kepentingan Politik di Balik Keputusan?

Guru besar hukum pidana, Prof Andi Hamzah, dalam bukunya Pengantar Hukum Pidana Indonesia (Prenada Media, Jakarta, 2008), abolisi seharusnya diterapkan dalam konflik politik besar, bukan untuk menyelamatkan elite politik yang terlibat dalam kasus hukum.

Satjipto Rahardjo, dalam bukunya Paradigma Hukum Progresif, menyatakan bahwa hukum seharusnya berpihak pada keadilan substantif, bukan hanya pada prosedur formal.

"Keadilan bukan sekadar legal formal, tapi menyangkut etika konstitusional. Transparansi dan pertanggungjawaban publik adalah syarat mutlak.” demikian menurut Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Konstitusi Press, Jakarta, 2005), dikutip dari kompas, Jumat (1/8/2025).

Meskipun sah secara konstitusional, keputusan pengampunan ini memicu krisis kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Banyak kalangan menilai bahwa langkah ini berpotensi mengaburkan batas antara kekuasaan eksekutif dan independensi lembaga peradilan.

Jika pengampunan dimaksudkan sebagai alat rekonsiliasi politik, maka Presiden dan DPR harus memastikan bahwa seluruh proses berjalan secara terbuka, objektif, dan berdasarkan prinsip keadilan, bukan karena kepentingan politik sesaat.

Penggunaan instrumen abolisi dan amnesti merupakan hak prerogatif Presiden, namun pelaksanaannya tetap membutuhkan legitimasi moral dan kepercayaan publik. Tanpa itu, kebijakan ini berpotensi menciptakan preseden buruk bagi praktik penegakan hukum dan demokrasi konstitusional di Indonesia. (berbagaisumber/*)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN