Wednesday, June 25, 2025
home_banner_first
MEDAN

Waspada Jeratan Percaloan Casis TNI/Polri: Harapan Dibeli, Integritas Dihancurkan

journalist-avatar-top
Rabu, 25 Juni 2025 10.05
waspada_jeratan_percaloan_casis_tnipolri_harapan_dibeli_integritas_dihancurkan

Pengamat publik, yakni Agus Suriadi (Dosen USU), Shohibul Ansor Siregar (Dosen UMSU Medan) dan Farid Wajdi (Founder of Care) menyoroti percaloan Casis TNI-Polri. (f:ist/mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Di tengah proses perekrutan calon siswa TNI/Polri, isu tak sedap muncul. Rekrutmen ini ditengarai oleh maraknya para calo yang berkeliaran dan menjanjikan kelulusan. Tidak tanggung-tanggung, nilainya mencapai Rp600 juta hingga miliaran rupiah.

Kabar terakhir, tim penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Utara saat ini tengah mendalami dugaan penipuan yang dilakukan oleh personel Satuan Brimob Polda Sumut, Aiptu Amori Bate'e, dalam dugaan penipuan modus calon casis (calon siswa) Polri. Sebelumnya, ia diadukan oleh casis yang diiming-imingi kelulusan dengan memberikan uang sejumlah Rp600 juta. Utama Zega membuat laporan ke SPKT Polda Sumut.

Beberapa kasus sebelumnya juga sempat heboh, seperti kasus percaloan rekrutmen anggota Polri yang dilakukan oleh Nina Wati. Ia juga disebut mengiming-imingi casis kelulusan dengan memberikan uang senilai Rp1,3 miliar. Dalam penyelidikan, Nina juga diketahui menjadi calo untuk casis anggota TNI.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran. Sejumlah akademisi dan pengamat di Sumut menyerukan kewaspadaan.

Shohibul Ansor Siregar: Percaloan Mematikan Harapan

Dosen Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Shohibul Anshor Siregar melihat percaloan dalam rekrutmen casis TNI/Polri bisa mematikan harapan anak-anak muda jujur dan berprestasi yang datang dari keluarga sederhana, tetapi tak punya uang untuk membayar calo.

Di lain pihak, hal ini menyebabkan terbangunnya persepsi negatif masyarakat terhadap TNI/Polri, bahwa mereka bukan lagi institusi penegak hukum yang adil, tapi hanya tempat berkumpulnya mereka yang bisa “membeli posisi”.

"Munculnya siklus korupsi baru, karena mereka yang masuk dengan cara tidak sah akan mencari cara untuk 'balik modal' setelah dilantik, misalnya dengan pungli, suap, atau pemerasan di lapangan," ujar Shohibul.

Shohibul khawatir, kalau praktik percaloan ini dibiarkan, akan mencetak bom waktu dalam tubuh institusi keamanan negara. Polisi bukan lagi dipenuhi orang-orang dengan komitmen dan kualitas moral, tetapi oleh mereka yang terbiasa “membayar untuk lolos”.

Akibatnya, kata Shohibul, kualitas personel akan merosot secara fisik, mental, dan intelektual. Mereka tak siap menghadapi dinamika keamanan yang makin kompleks.

"Etika profesi akan dikorbankan, karena nilai kejujuran dan keadilan tidak ditanamkan sejak awal proses seleksi. Kepolisian akan kehilangan kepercayaan publik, padahal kepercayaan itu adalah fondasi utama dalam penegakan hukum di negara demokratis."

Shohibul menyatakan hal ini akan berbahaya. Bukan hanya untuk citra Polri, tetapi untuk masa depan bangsa yang membutuhkan aparat hukum yang netral, profesional, dan berintegritas.

Percaloan dalam seleksi calon siswa (casis) kepolisian adalah bentuk pengkhianatan terhadap keadilan sosial dan integritas institusi.

Ketika ada oknum polisi yang justru menjadi calo, memungut uang dari para pendaftar dengan iming-iming kelulusan, maka proses rekrutmen tidak lagi didasarkan pada meritokrasi, tetapi pada kemampuan membayar. Hal ini menimbulkan kerusakan mendasar dalam tubuh institusi Polri.

Agus Suriadi: Krisis Kepercayaan

Hal yang sama disampaikan oleh pengamat sosial, Dosen Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara (USU), Agus Suriadi. Percaloan yang melibatkan orang dalam di tubuh institusi akan menghilangkan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian dan TNI. Citra penegak hukum akan tercoreng.

"Calon siswa yang berpotensi dan layak mungkin tidak mendapatkan kesempatan yang adil, sementara mereka yang menggunakan jasa calo bisa lolos tanpa memenuhi syarat yang seharusnya. Praktik percaloan ini dapat menciptakan budaya korupsi yang lebih luas di dalam institusi kepolisian, di mana praktik tidak etis menjadi hal yang biasa."

Agus menambahkan, jika percaloan ini terus berlanjut, kualitas penegak keamanan di masa depan akan terancam. Mereka yang tidak memenuhi syarat dan tidak memiliki integritas akan mengisi posisi penting dalam institusi TNI/Polri, yang dapat menyebabkan penurunan kualitas penegakan hukum.

"Dengan SDM yang tidak berkualitas, efektivitas dalam menanggulangi kejahatan akan berkurang, yang pada akhirnya dapat meningkatkan angka kriminalitas di masyarakat. Usaha untuk mereformasi kepolisian dan meningkatkan integritasnya akan terhambat jika praktik percaloan ini tidak ditangani dengan serius."

Farid Wajdi: Guncangan Integritas

Founder Ethics of Care, Farid Wajdi menilai skandal percaloan dalam seleksi calon siswa (casis) TNI/Polri menimbulkan guncangan terhadap integritas lembaga. Kepercayaan masyarakat kian tergerus, terutama ketika proses seleksi yang seharusnya bersifat objektif dan meritokratis justru dicemari oleh praktik transaksional.

Percaloan ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan dalam seleksi, tetapi juga merugikan kandidat-kandidat potensial yang tersingkir.

"Kandidat yang lolos melalui jalur belakang berisiko tidak memenuhi standar akademik, mental, maupun fisik sebagai aparat penegak hukum. Dampaknya tak kalah menyakitkan bagi publik, khususnya korban."

"Jika praktik ini terus dibiarkan, mutu rekrutmen TNI/Polri akan menurun drastis. Personel yang tidak kompeten berisiko masuk dalam sistem, melemahkan profesionalisme institusi dan menambah beban disipliner di masa depan. Tak hanya itu, budaya organisasi juga terancam terkontaminasi oleh praktik kolutif yang berulang dan menyebar ke berbagai tingkatan."

"Kasus Aiptu Amori yang kini tengah menjalani sanksi etik di Propam hanyalah puncak dari gunung es. Indikasi adanya keterlibatan aktor internal lain seperti PNS berinisial EES dan dugaan keterlibatan perwira tinggi menunjukkan pola sistemik, bukan pelanggaran insidental. Bahkan dalam kasus terdahulu tahun 2021, praktik serupa juga menyeret oknum Polwan dan pejabat tinggi."

Jaringan Percaloan Terorganisir

Agus mengatakan kemungkinan bahwa keterlibatan orang lain dalam praktik calo casis ini bukan hanya terbatas pada oknum TNI/Polri. Mungkin ada jaringan yang lebih besar yang melibatkan individu di luar kepolisian, seperti orang dalam yang memiliki akses ke informasi seleksi. Selain itu, Agus juga mengatakan kemungkinan juga ada orang lain yang terlibat. Hal ini bisa menunjukkan adanya korupsi sistemik di dalam proses rekrutmen, yang memerlukan investigasi lebih mendalam.

"Pihak ketiga, seperti oknum yang menawarkan jasa calo, bisa saja berkolaborasi dengan anggota instansi untuk memuluskan jalan bagi calon siswa yang membayar."

Shohibul menambahkan kemungkinan besar ada keterlibatan orang dalam lainnya.

"Dalam banyak kasus serupa, praktik percaloan tidak bisa berdiri sendiri. Biasanya melibatkan oknum dari bagian SDM atau panitia seleksi, perantara di luar institusi tapi punya koneksi dengan pejabat internal. Bahkan dalam beberapa laporan investigatif, ada struktur 'jaringan calo' yang rapi dan terorganisir, beroperasi lintas daerah," kata Shohibul.

Shohibul mengatakan percaloan bukan hanya ulah individu, tapi bisa jadi sindikat. Kalau penindakan hanya menyentuh satu atau dua orang “kambing hitam”, akar masalahnya tidak akan pernah selesai. Harus ada reformasi menyeluruh terhadap sistem rekrutmen dan pengawasan internal.

"Fenomena ini menyedihkan dan memprihatinkan. Tetapi kesadaran publik dan keberanian untuk bersuara, adalah bagian penting dari solusi. Kita tidak boleh lelah menuntut agar proses seleksi dibuat benar-benar transparan dan diawasi lembaga independen. Setiap kasus percaloan diusut tuntas, tidak hanya pelaku lapangan tapi juga jaringan di baliknya. Dan yang paling penting, bahwa integritas lebih penting dari koneksi."

Kasus percaloan dalam seleksi casis TNI/Polri merupakan masalah serius yang perlu ditangani dengan tegas. Diperlukan langkah-langkah preventif serta penegakan hukum yang ketat untuk memastikan bahwa proses rekrutmen berjalan transparan dan adil, demi menjaga integritas serta kualitas penegak hukum di Indonesia.

Farid Wajdi menambahkan, untuk mencegah kerusakan yang lebih luas, reformasi sistem seleksi menjadi kebutuhan mendesak. Audit menyeluruh, penguatan sistem pengawasan digital, serta transparansi dalam seluruh tahapan seleksi harus segera diberlakukan. Selain itu, hukuman tegas bagi para pelaku dan pelindung korban menjadi bagian dari komitmen untuk mengembalikan integritas institusi.

Jika praktik percaloan tidak segera diberantas hingga ke akarnya, Polri menghadapi ancaman kehilangan kepercayaan publik dan merosotnya profesionalisme aparat penegak hukum di masa depan. (rika//hm17)

REPORTER: