Sunday, October 12, 2025
home_banner_first
MEDAN

Sejarah Bioskop di Medan: Dari Tenda Keliling Hingga Oranje Bioscoop di Masa Kolonial

Mistar.idMinggu, 12 Oktober 2025 16.22
journalist-avatar-top
sejarah_bioskop_di_medan_dari_tenda_keliling_hingga_oranje_bioscoop_di_masa_kolonial

Bioskop Deli, bangunan berada di Pusat Pasar Lama-Oude Markt (Sambu). (Foto: istimewa)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Sebelum menjadi sentra modern dengan mal dan perkebunan, Medan adalah saksi bisu masuknya teknologi visual pertama di Hindia Belanda. Kisah bioskop di kota ini bukan sekadar sejarah hiburan, melainkan cermin kasta sosial, perkembangan teknologi, dan gejolak ekonomi yang membentuk warga kota.

Menurut Kiki Maulana Affandi, Dosen Ilmu Sejarah di Universitas Sumatera Utara (USU), perkembangan bioskop di Medan pada awalnya tidak terikat pada satu gedung.

“Kecenderungan awal-awal pertunjukan film atau pertunjukan layar itu, awalnya tidak punya gedung tersendiri,” kata Kiki dalam acara Heritage Talks yang dilaksanakan secara daring, Minggu (12/10/2025).

Hal ini mencerminkan bagaimana teknologi baru yang di Eropa sendiri baru dikenal pada akhir abad ke-19, masuk dengan cepat ke Hindia Belanda.

Pertunjukan gambar hidup pertama yang tercatat di Medan dibawa oleh Luis Talbot pada 17 November 1897 di Gedung Witte Societeit — klub sosial eksklusif milik orang Eropa. Setelah itu, ruang publik utama yang menjadi pusat pertunjukan adalah Lapangan Esplanade (sekarang Lapangan Merdeka).

“Di awal-awal abad ke-20, tahun 1905 dan 1906, Lapangan Merdeka itu banyak tenda-tenda pertunjukan,” ucapnya.

Pengusaha-pengusaha keliling seperti American Biograph Ten Broeke’s, New Bioscope Abdullaly Esoofally, hingga pengusaha asal Jepang, meminta izin untuk mendirikan tenda yang menyajikan film-film bisu kepada warga kota.

Pengusaha pertama yang serius dan menetap untuk mengelola bioskop film di Medan adalah Marteuros Sargis Michael, seorang Armenia berkebangsaan Hindia Belanda.

Pada September 1909, Michael mendirikan tenda pertunjukan di Esplanade. Tak lama kemudian, muncul inisiatif dari Dewan Kota Medan untuk mendirikan gedung bioskop milik pemerintah kota yang dikenal sebagai Oranje Bioscoop (berdiri 1909–1913), terletak di pertemuan Jalan Bali dan Jalan King.

Di masa kolonial, bioskop-bioskop lain turut bermunculan, seperti Deli Bioscoop (1913) di Pusat Pasar Lama, Orion Bioscoop, Rex Bioscoop, hingga Royal Bioscoop.

Bioskop pada era kolonial mencerminkan sistem kasta yang berlaku di masyarakat. Tempat duduk di bioskop tidak hanya menentukan harga, tetapi juga status sosial warga.

“Kalau masa kolonial Belanda itu kan rasis orangnya. Kalau orang pribumi, tidak boleh masuk ke kelas balkon, kelas yang paling tinggi,” ujarnya.

Pada tahun 1920-an, klasifikasi tiket ditentukan secara ketat, yaitu:

  1. Balcony: f.2 (kelas tertinggi, biasanya untuk orang Eropa).
  2. Kelas I: f.1.
  3. Kelas II: f.0,5.
  4. Kelas III: f.0,25 (khusus pribumi, atau yang biasa disebut kelas kambing).

Pengklasifikasian tempat duduk ini terus berlanjut hingga tahun 1970-an, meskipun tidak lagi berdasarkan ras, tetapi ekonomi.

“Posisi-posisi tempat duduk itu menentukan posisi juga warga negara, terutama saat masa kolonial Belanda,” tuturnya.

Data menunjukkan lonjakan jumlah penonton pada masa kolonial (tertinggi 574.712 penonton pada 1920). Namun, data tahun 1980-an justru menunjukkan rata-rata penonton bulanan yang jauh lebih kecil.

Kiki mencurigai perbedaan angka ini disebabkan faktor non-minat, seperti keberadaan calo tiket pada tahun 80-an yang membuat banyak penonton tidak tercatat dalam statistik resmi.

Pada era 1980-an, ketika jumlah bioskop mencapai puncaknya (54 bioskop dan panggung hiburan rakyat pada 1983), muncul pula fenomena Panggung Hiburan Rakyat (PHR).

PHR menjadi alternatif hiburan bagi masyarakat ekonomi lemah, meskipun dengan kualitas yang berbeda: kursi kayu panjang, lokasi di pinggiran kota, dan pemutaran film yang sudah lebih dulu tayang di bioskop. Bahkan, menurut wawancara Kiki:

“Film-film yang tidak lulus sensor karena seronok, itu bisa diputar di bagian panggung hiburan rakyat.”

Kini, banyak gedung bioskop legendaris di Medan, seperti Oranje Bioscoop, telah hilang atau beralih fungsi. Deli Bioscoop, misalnya, kini menjadi bagian dari pasar.

Transisi di tahun 1990-an, ketika bioskop mulai menyatu dengan mal, ditambah perkembangan teknologi video dan televisi, menjadi faktor utama pudarnya eksistensi gedung-gedung bioskop tunggal.

Kiki menegaskan bahwa cerita tentang bioskop adalah cerminan utuh masyarakat Medan.

“Bioskop itu mencerminkan apa yang ada di dalam masyarakat kotanya,” katanya.

Kisah kelas kambing hingga tenda keliling adalah pengingat penting bahwa sejarah modern Medan dibentuk oleh interaksi antara teknologi, ekonomi, dan diskriminasi sosial yang terjadi di dalam ruang gelap sebuah gedung pertunjukan.

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN