Psikolog Sebut Tawuran Remaja di Belawan Bagian Psikososial


Suasana lokasi saat tawuran antar kelurahan di Belawan. (f:ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Psikolog Anak dan Remaja, Katherina mengatakan fenomena tawuran antar kelompok yang marak belakangan ini di Belawan, bukan sekadar persoalan kriminalitas, tetapi juga berkaitan dengan tahapan perkembangan psikososial remaja (Erikson’s Psychosocial Stage).
Menurut Katherina, teori Erikson menyebutkan remaja berada pada tahap Identitas vs Kebingungan Peran (Identity vs Role Confusion), di mana mereka sedang mencari jati diri dan peran dalam kehidupan. Jika berhasil menemukan jati diri maka mereka akan memiliki tujuan hidup serta rasa percaya diri dalam menghadapi masa depan.
“Namun jika mereka kesulitan menemukan jati diri mereka, maka mungkin saja mereka akan mencari pengakuan melalui kelompok atau komunitas yang menerima mereka,” katanya kepada Mistar melalui pesan tertulis, Jumat (9/5/2025).
Dia menjelaskan keterlibatan remaja dalam aksi tawuran kerap dipicu keinginan untuk diterima dan dihargai dalam suatu kelompok. Terkadang, mereka merasa menunjukkan kekuatan lewat cara-cara seperti itu dapat meningkatkan posisinya secara sosial.

Psikolog Anak dan Remaja, Katherina. (f:ist/mistar)
Alumni Universitas Sumatera Utara (USU) itu menekankan faktor lingkungan juga berperan besar. Mulai dari lingkungan tempat tinggal yang tidak kondusif, pendidikan yang rendah, tekanan ekonomi, hingga minimnya pengawasan orang tua, semuanya dapat memicu perilaku menyimpang.
"Remaja yang hidup di lingkungan dengan tingkat penyalahgunaan narkoba yang tinggi, pengaruh media sosial atau tidak memiliki akses ke pendidikan yang layak, sangat rentan untuk ikut-ikutan tawuran," tuturnya.
Dia menyatakan penyelesaian masalah ini tidak bisa dilakukan dengan satu pendekatan saja. Beberapa solusi yang ia tawarkan antara lain psikoedukasi mengenai dampak negatif tawuran, program karakter dan keterampilan sosial di sekolah, serta keterlibatan orang tua dalam memantau pergaulan anak.
Dia juga menyarankan agar aparat hukum menggunakan pendekatan yang lebih humanis. "Misalnya melalui program pembinaan dan dialog yang membangun, daripada hanya memenjarakan remaja tanpa menimbulkan efek jera,” ujarnya.
Katherina juga menyoroti pentingnya pendidikan sebagai fondasi pembentukan karakter remaja. Ia mengapresiasi rencana pemerintah yang akan membuka Sekolah Rakyat bagi masyarakat kurang mampu.
“Banyak remaja putus sekolah karena ekonomi yang kurang memadai. Sebenarnya pendidikan merupakan aspek paling penting untuk membina anak, baik dalam emosi, karakter dan kemampuan sosialisasi mereka,” tuturnya.
Namun, dia mengingatkan program sekolah gratis harus dibarengi dengan peningkatan kualitas. “Semoga fasilitas yang diberikan juga memadai, sehingga anak tertarik untuk sekolah. Realitanya banyak sekolah yang murah pun, tetapi tidak bisa menjangkau anak karena kualitas SDM yang juga tidak optimal,” ucapnya. (Susan/hm18)