Pengamat Politik Sumut Sebut Pelaksanaan Reses Legislatif Perlu Dievaluasi

Pengamat Politik Sumatera Utara (Sumut), Shohibul Anshor Siregar. (Foto: Istimewa/Mistar)
Medan, MISTAR.ID
Pengamat politik Sumatera Utara (Sumut), Shohibul Anshor Siregar, menyoroti pelaksanaan program reses yang dilakukan lembaga legislatif. Ia menilai output dari kegiatan reses tersebut masih menjadi catatan penting yang perlu dievaluasi.
Ia menyampaikan, masa reses anggota legislatif, baik DPR maupun DPRD, semestinya digunakan secara serius untuk menelusuri masalah-masalah struktural di daerah, bukan sekadar kegiatan seremonial.
Menurutnya, Sumut masih menghadapi persoalan mendasar yang berlapis dan saling berkaitan. Mulai dari ketimpangan hasil bagi dari pusat ke daerah, dampak ekstraktivisme, konflik pertanahan, hingga kemiskinan struktural yang belum kunjung teratasi.
“Reses harus jadi momentum memperdalam akar persoalan pembangunan di daerah. DPR tidak cukup hanya menyerap aspirasi umum, tetapi harus mengaudit langsung kondisi struktural yang menghambat kesejahteraan rakyat,” katanya kepada Mistar, Rabu (22/10/2025).
Ia turut menyoroti masalah klasik terkait bagi hasil keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Menurutnya, struktur fiskal Sumut masih sangat tergantung pada transfer pusat seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
“Kemandirian fiskal daerah kita masih rendah. Hampir seluruh kabupaten dan kota di Sumut bergantung pada transfer dari pusat. Akibatnya, ruang gerak pembangunan lokal sempit dan inovasi kebijakan terbatas,” ucapnya.
Ia menyebut, data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan BPS menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen APBD di sejumlah kabupaten bersumber dari dana transfer pusat.
“Saya rasa kondisi itu menandakan lemahnya basis ekonomi produktif lokal,” ujar akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) itu.
Selain persoalan fiskal, ia menyoroti dampak ekstraktivisme dan proyek infrastruktur besar (PSN) di Sumut yang kerap menimbulkan ketimpangan baru. Ia mencontohkan proyek jalan tol dan kawasan industri yang memicu perubahan tata guna lahan secara besar-besaran tanpa kompensasi sosial memadai.
“Proyek strategis nasional memang membawa investasi dan infrastruktur, tetapi sering kali melahirkan luka sosial. Masyarakat kehilangan lahan, ekosistem rusak, dan kompensasi tidak jelas. Ini bentuk ketidakadilan pembangunan yang harus diawasi DPR di masa reses,” katanya.
Ia menambahkan, data pemantauan hutan di Sumatera menunjukkan peningkatan kehilangan tutupan hutan akibat ekspansi sawit, tambang, dan pembangunan jalan tol.
“Deforestasi dan kerusakan lingkungan akan berdampak jangka panjang terhadap ketahanan pangan dan potensi bencana ekologis,” ujarnya.
Masalah lain yang disebut Shohibul adalah konflik agraria yang melibatkan perusahaan besar, BUMN perkebunan, dan masyarakat adat.
“Sumut itu laboratorium konflik agraria nasional. Sengketa antara PTPN, perusahaan sawit, dan komunitas adat masih tinggi. Reforma agraria yang dijanjikan sering mandek di tataran administrasi,” katanya.
Ia menekankan perlunya peran legislatif untuk turun langsung ke lapangan memverifikasi data peta konsesi dan peta wilayah adat yang masih tumpang tindih.
“Tanpa keadilan agraria, pembangunan apa pun akan kehilangan fondasinya,” tambah Shohibul.
Ia merinci, menurut data BPS, tingkat kemiskinan Sumut pada September 2024 berada di angka 7,19 persen, setara dengan sekitar 1,11 juta jiwa, meskipun menurun dari 7,99 persen pada Maret 2024. Namun, ia menilai angka tersebut menutupi ketimpangan spasial yang lebar antara perkotaan dan pedesaan.
“Penurunan angka kemiskinan itu belum menunjukkan perubahan struktural. Banyak daerah pedesaan masih terjebak kemiskinan multidimensi pendidikan rendah, akses kesehatan terbatas, dan infrastruktur minim,” ujarnya.
Ia juga menyoroti tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang berada di kisaran 5-5,6 persen, serta dominasi pekerjaan informal di sektor pertanian dan jasa musiman.
“Angka-angka itu menggambarkan masyarakat bekerja, tetapi tidak sejahtera,” ucapnya.
Ia menilai lemahnya tata kelola dan kapasitas aparatur menjadi akar dari banyak masalah daerah. Ketergantungan pada proyek dan transfer pusat menyebabkan perencanaan pembangunan tidak berbasis data serta membuka ruang bagi praktik korupsi dan inefisiensi.
“Kelemahan manajemen publik daerah dan lemahnya pengawasan DPRD sering membuat proyek besar berjalan tanpa kontrol. Ini yang seharusnya jadi perhatian serius saat reses. Pertanyaan kita, sejauh mana uang rakyat digunakan secara efektif?” tanya Shohibul.
Untuk itu, ia mengusulkan agar masa reses DPR diarahkan pada penelusuran data lapangan secara granular hingga tingkat desa. Ia mendorong para anggota legislatif meminta langsung data BPS, Dinas Sosial, dan Dinas Pertanian terkait kemiskinan, pengangguran, serta program bantuan sosial di tiap wilayah.
“Jadi jangan hanya dengar aspirasi umum. DPR harus membawa daftar data konkret. Berapa keluarga miskin per desa, siapa yang belum menerima bantuan, proyek PSN apa yang tidak punya AMDAL, dan berapa konflik agraria yang belum selesai,” ucapnya.
Di akhir pernyataannya, ia menegaskan bahwa masa reses seharusnya menjadi momentum memperkuat fungsi pengawasan, bukan sekadar formalitas politik.
“Reses bukan waktu libur, tetapi waktu bekerja di akar rumput. Kalau DPR mampu menelisik persoalan struktural seperti ketimpangan fiskal, konflik agraria, dan kemiskinan kronis, maka hasil reses akan bermakna bagi rakyat dan bagi kualitas demokrasi,” ujarnya. (hm25)
BERITA TERPOPULER









