Suami Bunuh Istri di Banten, Psikolog: Pelaku Diduga Gangguan Kontrol Impuls dan Frustasi Kronis

Jeffry, psikolog dari Klinik Mindamora Medan (Foto Istimewa/Mistar)
Medan, MISTAR.ID
Suami bunuh istri viral di Kota Serang, Banten. Pembunuhan itu terjadi pada Minggu (1/6/2025) pagi, sekitar pukul 05.00 WIB.
Pelaku, Wadison Pasaribu, 37 tahun, menghabisi nyawa istrinya, Petry Sihombing, 35 tahun, karena bertengkar. Wadison dituduh selingkuh.
Kasus suami bunuh istri menjadi kasus kesekian kalinya di Indonesia. Motifnya beragam. Lantas, kenapa ada suami tega membunuh istrinya?
Jeffry, psikolog dari Klinik Mindamora Medan, menilai ada beberapa kemungkinan alasan pelaku bisa sampai melakukan tindakan sekejam itu. Tanpa melakukan penilaian secara langsung ke pelaku, ia mengatakan salah satu kemungkinannya adalah gangguan kontrol impuls (tidak mampu mengelola amarah). Kemudian frustrasi kronis yang menumpuk tanpa solusi sehat dan sikap dominasi dalam relasi pernikahan.
Lebih lanjut, Jeffry mengatakan pelaku tampaknya tidak memiliki pertimbangan yang matang saat kejadian berlangsung. Ia diduga berada dalam kondisi emosi sesaat (affect arousal) sehingga tidak sempat memikirkan konsekuensi dari tindakannya.
“Memiliki distorsi kognitif, seperti menganggap diri sebagai ‘korban’ sehingga merasa tindakannya ‘dibenarkan’ dan tidak memiliki mekanisme koping yang sehat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi,” katanya kepada Mistar, Kamis (5/6/2025).
Mirisnya, kata Jeffry, anak-anak kerap menjadi korban tidak langsung dalam kasus kekerasan rumah tangga seperti ini. Namun pelaku yang bertindak impulsif cenderung mengabaikan dampak psikologis jangka panjang terhadap anak.
Terkait fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Jeffry menjelaskan bahwa istri dan anak sering menjadi korban karena dianggap lebih lemah secara sosial maupun ekonomi.
“Selanjutnya juga karena siklus pelaku yang pernah menyaksikan atau mengalami kekerasan di masa lalu, kemudian menirunya. Yang terakhir karena stres di luar yang dilampiaskan ke keluarga,” tutur alumni magister profesi dari Universitas Sumatera Utara ini.
Dia menambahkan bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban KDRT, namun kasusnya jarang terungkap karena stigma sosial.
Baca Juga: Usai Habisi Nyawa Istri, Wadison Coba Bunuh Diri dan Minta Tidur dengan Anak Sebelum Ditangkap
Untuk menghindari adanya KDRT, Jeffry menekankan agar setiap pasangan selalu mengutarakan perasaan dengan menggunakan kata aku.
“Contoh ‘aku merasa sedih ketika.....’. Jangan menyalahkan. Saran kedua, jangan memaksakan untuk menyelesaikan masalah saat emosi sedang bergejolak atau tidak stabil, pakai time out, mungkin selama 30 menit, sebelum melanjutkan diskusi,” kata Ketua Umum Lembaga Pemberdayaan Sosial Keluarga (LPSK) Bunga Teratai ini, melalui pesan WhatsApp.
Kemudian ia juga menyarankan agar memahami batasan antara kekerasan fisik maupun verbal.
“Itu bisa jadi kriminal dan saran terakhir, cari bantuan profesional seperti psikolog,” tuturnya. (Susan)