PA Kabanjahe Dinilai Kurang Transparan Soal Data Perceraian, Warga Keluhkan Biaya Tambahan

Ruang Pengadilan Agama Kabanjahe (Foto: Abay/Mistar)
Karo, MISTAR.ID
Transparansi informasi di lingkungan Pengadilan Agama (PA) Kabanjahe menuai sorotan. Warga mengeluhkan sulitnya memperoleh data perceraian periode 2024–2025, serta adanya dugaan kutipan biaya tambahan dalam proses sidang cerai.
Informasi ini terungkap saat tim Mistar.ID mencoba meminta keterangan langsung ke PA Kabanjahe pada Senin (21/7/2025). Namun, permintaan data tidak dapat dipenuhi secara terbuka.
“Humas Pengadilan Agama Kabanjahe sedang ada sidang, mengingat beliau juga selaku hakim. Apabila ada keperluan terkait data perceraian di Karo, sebaiknya buat surat permohonan terlebih dahulu,” ujar Latif, salah satu pegawai PA Kabanjahe.
Latif juga menyarankan untuk mengakses informasi melalui situs resmi PA Kabanjahe, yang beralamat di Jalan Letjen Jamin Ginting, Desa Sumber Mufakat, Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo. Namun, saat ditelusuri lebih lanjut, informasi statistik perkara yang tersedia di situs tersebut hanya mencakup tiga bulan terakhir.
Data Terbatas di Website Resmi
Berdasarkan pantauan di situs resmi PA Kabanjahe, statistik yang tercantum adalah:
Mei 2025: Diterima 29 perkara, diputus 28
Juni 2025: Diterima 32 perkara, diputus 32
Juli 2025: Diterima 16 perkara, diputus 14 (per 21 Juli)
Tidak tersedia rekapitulasi atau data tahunan yang bisa diakses publik dengan mudah. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai keterbukaan lembaga peradilan dalam menyediakan informasi publik, terutama soal tren perceraian di Kabupaten Karo.
Tak hanya soal data, warga juga mengeluhkan adanya biaya yang dinilai tidak resmi dalam proses perceraian di PA Kabanjahe.
“Mau cerai saja pun mengeluarkan duit, kalau di Pengadilan Agama Kabanjahe, bahkan menelan biaya jutaan rupiah. Adikku cerai habis Rp1,5 juta,” ungkap Satar Tarigan, warga Kabanjahe.
Meski belum dapat dibuktikan secara hukum, keluhan semacam ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi lembaga peradilan untuk menjaga integritas dan pelayanan publik yang bersih dari pungutan liar.
Minimnya akses informasi serta dugaan praktik tak wajar memperkuat kebutuhan akan transparansi dan akuntabilitas di lingkungan peradilan agama, terutama dalam perkara yang menyangkut kepentingan keluarga dan masyarakat luas. (Abay/hm17)