Pemerintah Hapus Catatan SLIK di Bawah Rp1 Juta untuk Permudah KPR, OJK Dukung Langkah Ini


Foto udara rumah subsidi di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Sabtu (20/9/2025). (Foto: Antara/Mistar).
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Pemerintah berencana menghapus catatan kredit macet bagi debitur dengan utang di bawah Rp1 juta dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Langkah ini diambil untuk memperlancar pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Kebijakan tersebut dicetuskan oleh Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, sebagai respons atas terhambatnya program perumahan rakyat akibat catatan buruk debitur dengan pinjaman kecil. Ia mengungkapkan bahwa pembatasan di SLIK menjadi hambatan utama dalam permintaan perumahan.
Rencana ini muncul setelah laporan dari BP Tapera menunjukkan bahwa sekitar 100.000 calon pembeli rumah terkendala pengajuan KPR karena catatan SLIK akibat utang macet bernilai kecil. Skema pemutihan kredit macet di bawah Rp1 juta tersebut rencananya akan ditanggung oleh para pengembang.
“Katanya Pak Ara, pengembangnya mau bayar itu. Kalau itu mau bayar ya sudah enggak apa-apa,” kata Purbaya di kawasan JS Luwansa, Jakarta, Selasa (21/10/2025).
Di sisi lain, OJK menyambut positif langkah ini. Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menegaskan bahwa SLIK bukanlah satu-satunya alat penilai kelayakan kredit.
“Jadi pasti akan selalu kita dukung. Terkait dengan SLIK, ini kemarin kita udah minta ke Pak Heru Ketua BP Tapera, kan beliau mengatakan ada 100 ribu ya kita minta datanya tolong disampaikan ke kita,” ujarnya dalam media gathering di Purwokerto, Minggu (19/10/2025).
Menurut Friderica, bank sebenarnya sudah memiliki fleksibilitas dalam menilai calon debitur. Banyak bank tetap memberikan KPR meskipun calon nasabah memiliki catatan kolektibilitas tidak lancar, asalkan dinilai masih layak kredit.
Meski berpotensi memperlancar akses perumahan, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran terhadap risiko moral hazard dan pentingnya menjaga disiplin kredit di sektor keuangan.
Head of Research Colliers Indonesia, Ferry Salanto, menilai kebijakan ini dapat menjadi stimulus positif bagi sektor properti, terutama pasar KPR kelas menengah ke bawah.
“Padahal kalau yang saya dengar itu nilai tunggakannya sebenarnya relatif kecil dan tidak benar-benar mencerminkan kemampuan bayar yang sebenarnya,” ujarnya.
Namun, Ferry mengingatkan agar kebijakan ini diterapkan dengan hati-hati. “Kalau tidak hati-hati langkah ini bisa menimbulkan risiko moral hazard di mana masyarakat jadi merasa ada toleransi terhadap kelalaian pembayaran sekecil apa pun,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menilai perlu adanya evaluasi terhadap kekuatan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) bank serta mekanisme yang memastikan pemutihan dilakukan secara selektif.
“Pasti ada kriteria tertentu nasabah yang menentukan nasabah berhak mendapatkan pemutihan atau tidak. Jadi saya rasa kuncinya bukan di besaran hutang yang terhutang, namun di kemampuan bayarnya,” ujarnya.
Ferry menambahkan, implementasi kebijakan ini memerlukan pengawasan ketat dan mekanisme teknis yang jelas, seperti apakah pemutihan berlaku bagi tunggakan lama atau debitur yang masih aktif menunggak.
Menurutnya, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kemampuan perbankan mengembangkan sistem penilaian kredit yang lebih komprehensif dan real-time.
“Jadi secara keseluruhan sebenarnya ide dasarnya baik tapi implementasinya memang harus hati-hati agar tidak mengganggu disiplin kredit dan tetap menjaga keseimbangan antara inklusi keuangan dan prudensi perbankan,” pungkas Ferry.
(hm17)
BERITA TERPOPULER









