Nilai Tukar Petani Sumut Naik Pada September 2025, Pemicunya Hortikultura

Pengamat Ekonomi Universitas Islam Sumatera Utara, Gunawan Benjamin. (Foto: Dok. Gunawan Benjamin/Mistar)
Medan, MISTAR.ID
Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) pada September 2025 mengalami kenaikan sebesar 1,11 persen. Angka ini naik dari 144,46 pada bulan sebelumnya menjadi 146,06.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, Asim Saputra, menjelaskan bahwa kenaikan NTP ini disebabkan oleh meningkatnya NTP pada dua subsektor.
"Kenaikan NTP September 2025 disebabkan oleh naiknya NTP dua subsektor, yaitu NTP subsektor Tanaman Hortikultura sebesar 12,17 persen dan NTP subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat 0,81 persen," kata Asim, Minggu (5/10/2025).
Kenaikan NTP didukung oleh peningkatan Indeks Harga yang Diterima Petani (it), yang naik sebesar 1,94 persen dari 178,72 menjadi 182,18. Kenaikan It terjadi di seluruh subsektor, dengan kenaikan tertinggi pada it subsektor Tanaman Hortikultura melonjak 12,31 persen, didorong oleh naiknya harga sayur-sayuran 20,34 persen.
"Komoditas cabai merah, kol/kubis, dan wortel menjadi penyumbang terbesar kenaikan NTP. It subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat naik 1,77 persen, didominasi oleh kenaikan harga kelapa sawit, karet, dan kopi," ucapnya.
Di sisi lain, seluruh subsektor juga mengalami kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) yang mencerminkan biaya konsumsi dan produksi sebesar 0,82 persen.
Meskipun secara keseluruhan NTP naik, tiga subsektor pertanian utama lainnya justru mengalami penurunan NTP, yaitu Tanaman Pangan (NTPP) turun 0,82 persen, di mana kenaikan It 0,06 persen lebih rendah dari kenaikan Ib yang hanya 0,89 persen. Penurunan NTPP ini terutama disebabkan oleh anjloknya harga komoditas gabah di tingkat petani.
Peternakan (NTPT) turun 0,08 persen, karena kenaikan It 0,63 persen lebih rendah dari kenaikan Ib 0,71 persen. Penurunan NTPT ini didominasi oleh komoditas babi, kambing, dan telur ayam ras.
Perikanan (NTNP) turun 0,08 persen, dengan kenaikan It yang lebih rendah dari kenaikan Ib.
"Kenaikan Indeks Kelompok Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) untuk mayoritas subsektor dipicu oleh lonjakan harga komoditas pangan seperti cabai merah, cabai rawit, dan cabai hijau," ujarnya.
Menurut Pengamat Ekonomi Universitas Islam Sumatera Utara, Gunawan Benjamin, meskipun harga cabai merah di tingkat konsumen sempat menyentuh angka Rp100.000 per kilogram (kg) pada September lalu, kini harganya terpantau mulai turun di kisaran Rp60.000 per kg untuk rata-rata di Kota Medan.
Lonjakan harga cabai hingga lebih dari 100 persen pada September lalu telah menyulut inflasi Sumut sebesar 0,65 persen (m-t-m) dan 5,32 persen (y-o-y).
Ia menilai bahwa kenaikan harga fantastis tersebut membawa dampak dua sisi, baik bagi petani maupun konsumen.
Menurut Gunawan, kenaikan harga cabai disambut baik oleh petani karena menguntungkan secara finansial dan mampu memulihkan daya beli petani di Sumut. Kenaikan ini juga memberikan modal yang kuat bagi petani untuk kembali bercocok tanam.
"Kenaikan harga tersebut setidaknya memastikan bahwa petani memiliki kekuatan modal untuk bercocok tanam kembali. Yang setidaknya menggaransi bahwa ke depan pasokan cabai masih akan terjaga," tutur Gunawan.
Di sisi lain, konsumen menjadi pihak yang merasa dirugikan. Daya beli konsumen terpukul dan menekan belanja masyarakat, yang juga merugikan pedagang.
Gunawan memproyeksikan harga cabai yang masih bertahan mahal saat ini akan berpeluang turun dalam waktu dekat atau setidaknya pada bulan November mendatang. Penurunan ini didorong oleh potensi pasokan yang melimpah.
Namun, limpahan produksi tersebut tidak sepenuhnya berasal dari wilayah Sumatera Utara, seperti Kabupaten Karo saja.
"Limpahan produksi ke depan akan banyak mengandalkan wilayah Aceh, Jambi, Sumatera Barat, dan tentunya juga harapan produksi dari wilayah Jawa," katanya.
Saat ini, pasokan cabai di Sumut banyak didatangkan dari Jambi, Sumatera Selatan, dan juga dari Jawa. Gunawan optimis, perubahan kondisi supply ini akan mendorong harga cabai turun. Namun, ia menambahkan satu variabel penting yang sulit diproyeksikan seperti cuaca atau faktor alam. (amita/hm20)
PREVIOUS ARTICLE
Harga Cabai Merah di Siantar Masih Pedas, Rp80.000 per Kilogram