Friday, October 24, 2025
home_banner_first
EKONOMI

Kebijakan B50 Dinilai Berisiko Tekan Harga Sawit dan Rugikan Petani

Mistar.idJumat, 24 Oktober 2025 20.09
journalist-avatar-top
kebijakan_b50_dinilai_berisiko_tekan_harga_sawit_dan_rugikan_petani

Petani mengangkut kelapa sawit yang baru di panen (Foto: Dok Mistar)

news_banner

Pematangsiantar, MISTAR.ID

Rencana pemerintah menaikkan kadar pencampuran biodiesel dari B40 menjadi B50 kembali menuai sorotan tajam. Meski digadang sebagai langkah percepatan transisi energi hijau, kebijakan ini dinilai berpotensi menimbulkan efek domino terhadap industri kelapa sawit dan kesejahteraan petani kecil.

Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Sabarudin mengingatkan, peningkatan kadar biodiesel hampir pasti diikuti kenaikan Pungutan Ekspor (PE) untuk mendanai subsidi biodiesel. Saat ini tarif PE berada di kisaran 10%, namun berpotensi naik seiring penerapan B50.

“Kalau kadar biodiesel naik ke B50, otomatis tarif PE juga naik. Dampaknya harga TBS bisa turun Rp1.000–Rp2.000 per kilogram. Akhirnya, petani yang harus menanggung beban subsidi biodiesel,” ujar Sabarudin dalam keterangan tertulis, Jumat (24/10/2025).

Kajian UI: Harga TBS Bisa Turun Rp1.725 per Kg

Mengutip hasil riset Pranata UI, SPKS menilai kekhawatiran tersebut beralasan. Setiap kenaikan 1% tarif PE dapat menekan harga tandan buah segar (TBS) sekitar Rp333 per kilogram. Jika pemerintah menaikkan PE hingga 15,17% demi mendukung program B50, harga TBS di tingkat petani bisa jatuh hingga Rp1.725 per kilogram.

“Petani swadaya yang paling menderita karena tidak punya posisi tawar. Mereka rugi tanpa ikut menikmati keuntungan dari program biodiesel yang katanya untuk rakyat,” tambahnya.

Sabarudin menegaskan, SPKS tidak menolak kebijakan energi hijau, tetapi meminta evaluasi menyeluruh atas mekanisme pendanaan dan distribusi manfaat program biodiesel. “Tanpa pembenahan, transisi energi bisa menciptakan ketimpangan baru di sektor sawit,” tegasnya.

INDEF: Kapasitas Industri Belum Siap Jalankan B50

Peneliti INDEF Abra Talattov juga menilai pemerintah perlu berhati-hati sebelum menerapkan kebijakan B50. Ia menyarankan agar evaluasi terhadap implementasi B40 diselesaikan terlebih dahulu untuk memastikan efektivitas di sisi produksi, nilai tambah industri, dan kesejahteraan petani.

“Pemerintah harus menilai dulu dampak B40 terhadap hulu-hilir industri dan kesejahteraan petani sebelum melangkah ke B50,” ujar Abra.

Menurut kajian Pranata UI, kapasitas industri biodiesel nasional saat ini baru sekitar 16,7 juta kiloliter, sedangkan kebutuhan aktual akan mencapai 19 juta kiloliter jika program B50 diterapkan. Artinya, kemampuan produksi belum cukup untuk memenuhi lonjakan permintaan bahan bakar nabati.

Risiko Subsidi dan Ketimpangan Harga CPO

Abra juga mengingatkan adanya risiko meningkatnya beban subsidi untuk menutup selisih harga antara biofuel dan solar. Data INDEF menunjukkan, 96% subsidi solar masih dinikmati kelompok yang tidak berhak. “Tanpa reformasi subsidi BBM, kebijakan biodiesel berisiko memperlebar ketimpangan,” tegasnya.

Untuk melindungi petani, INDEF mengusulkan penerapan ceiling price dan floor price untuk harga TBS. Tujuannya agar harga sawit petani tidak tertekan ketika harga minyak sawit mentah (CPO) berfluktuasi di pasar global.

Abra menegaskan, kebijakan biodiesel harus dirancang sebagai strategi ekonomi inklusif, bukan sekadar proyek energi. “B50 tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak. Pemerintah harus menjamin manfaatnya dirasakan petani, industri, dan konsumen secara adil,” pungkasnya.

(hm17)

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN