Psikolog: Bela Anak Tanpa Konsekuensi Picu Perilaku Manipulatif

Psikolog Jeffry. (Foto: Dokumentasi Jeffry/Mistar)
Medan, MISTAR.ID
Suatu tindakan kekerasan maupun pembelaan tanpa konsekuensi sama-sama memiliki dampak buruk bagi perkembangan anak. Hal itu disampaikan psikolog dari Ekspresi Consulting and Research, Jeffry, menanggapi viralnya kasus kepala sekolah (kepsek) di Banten.
Diketahui, kepsek tersebut menampar siswanya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Kemudian kepsek tersebut dilaporkan oleh orang tua siswa.
Pembelaan terang-terangan meski telah melakukan kesalahan dapat membuat anak tumbuh menjadi pribadi manipulatif dan sulit belajar dari pengalaman.
“Dari sisi psikologis, penamparan (kekerasan fisik) adalah metode pendisiplinan yang sangat tidak dianjurkan karena berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan perkembangan sosial-emosional anak,” ujar Jeffry kepada Mistar, Jumat (24/10/2025).
Alumni Magister Profesi Psikologi Universitas Sumatera Utara itu menjelaskan. Dampak jangka panjangnya dapat berupa peningkatan risiko masalah perilaku, kesulitan emosional, serta pandangan negatif terhadap figur otoritas.
Menurutnya, meski perilaku siswa tersebut adalah pelanggaran serius, tetapi penanganannya harus bersifat mendidik, bukan menghukum secara fisik.
“Fokusnya harus pada pencegahan, pembinaan, dan komunikasi yang membangun antara guru, siswa, dan orang tua,” katanya.
Namun, Jeffry juga menilai langkah orang tua yang melaporkan guru tanpa memberi konsekuensi terhadap anaknya bisa berdampak tidak kalah serius.
“Walaupun sisi positifnya anak merasa dilindungi, jika pelaporan hanya menyoroti kesalahan guru tanpa pembinaan pada anak, itu bisa membuat anak belajar memanipulasi situasi untuk menghindari tanggung jawab,” katanya.
Ketua Umum Lembaga Pemberdayaan Sosial Keluarga (LPSK) Bunga Teratai itu menegaskan, anak tetap harus diajarkan konsekuensi dari kesalahannya agar tidak tumbuh menjadi pribadi yang sulit belajar dari pengalaman.
Jeffry juga menekankan pentingnya authoritative parenting (tegas namun penuh kasih). “Hukuman yang paling tepat adalah konsekuensi logis dan pembinaan intensif, bukan hukuman fisik,” ujarnya.
Ia mencontohkan, konsekuensi logis dapat berupa pencabutan hak istimewa yang relevan, seperti pembatasan waktu bermain gawai atau uang saku untuk periode tertentu. “Itu harus dilakukan dengan tenang dan hormat, diikuti intervensi yang fokus pada akar masalah, misalnya lewat konseling keluarga atau pengawasan ketat,” tuturnya.
Dengan begitu, anak terbantu dalam menemukan strategi koping yang sehat, memperbaiki perilakunya, sehingga lebih memprioritaskan pendidikan moral dan kesehatan mental di atas hukuman yang merusak. (hm25)






















