Saturday, October 25, 2025
home_banner_first
NASIONAL

Fenomena Kohabitasi di Indonesia Timur

Mistar.idSabtu, 25 Oktober 2025 09.51
EH
fenomena_kohabitasi_di_indonesia_timur

Ilustrasi. (Foto: iStockphoto/Mistar)

news_banner

Jakarta, MISTAR.ID

Sebuah studi di Indonesia berjudul The Untold Story of Cohabitation yang dilakukan pada tahun 2021 mengungkap bahwa praktik hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, atau yang sering disebut kumpul kebo, lebih banyak ditemukan di wilayah timur Indonesia.

Peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, menjelaskan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya di Manado, terdapat tiga faktor utama yang mendorong pasangan memilih untuk tinggal bersama tanpa menikah secara resmi.

Faktor-faktor tersebut meliputi beban ekonomi, proses perceraian yang dianggap rumit, serta adanya penerimaan sosial di lingkungan sekitar.

“Dari hasil analisis data Pendataan Keluarga 2021 (PK21) yang dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), tercatat sekitar 0,6 persen penduduk Kota Manado menjalani hubungan kohabitasi,” ujar Yulinda, dilansir dari CNBC, Sabtu (25/10/2025).

Lebih lanjut, ia memaparkan karakteristik pasangan yang menjalani kohabitasi tersebut. “Sekitar 1,9 persen di antaranya sedang hamil ketika survei dilakukan, 24,3 persen berusia di bawah 30 tahun, 83,7 persen memiliki tingkat pendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6 persen tidak memiliki pekerjaan, dan 53,5 persen bekerja di sektor informal,” terangnya.

Menurut Yulinda, perempuan dan anak merupakan pihak yang paling rentan terdampak secara negatif akibat praktik kumpul kebo. Dari sisi ekonomi, hubungan tanpa ikatan hukum tidak memberikan jaminan finansial bagi ibu dan anak. Berbeda dengan pernikahan resmi, dalam kohabitasi seorang ayah tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberikan nafkah atau dukungan finansial.

“Ketika hubungan kohabitasi berakhir, tidak ada payung hukum yang mengatur pembagian aset, hak waris, hak asuh anak, maupun pemberian tunjangan,” ucapnya.

Selain persoalan ekonomi, dampak lain juga muncul pada aspek psikologis dan kesehatan. Yulinda menyebut, kohabitasi sering dikaitkan dengan menurunnya tingkat kepuasan hidup dan meningkatnya risiko gangguan kesehatan mental. Hal ini disebabkan oleh rendahnya komitmen, kurangnya rasa saling percaya, serta ketidakpastian arah hubungan di masa depan.

Berdasarkan data PK21, 69,1 persen pasangan kohabitasi dilaporkan mengalami konflik ringan seperti adu mulut atau saling mendiamkan. Sekitar 0,62 persen mengalami konflik serius hingga pisah ranjang atau berpisah tempat tinggal, sedangkan 0,26 persen menghadapi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Yulinda juga menyoroti dampak kohabitasi terhadap anak. Anak-anak yang lahir dari hubungan semacam ini cenderung mengalami gangguan tumbuh kembang, kesehatan, serta masalah emosional akibat stigma sosial.

“Anak yang lahir di luar pernikahan sah sering menghadapi kebingungan identitas dan perasaan tidak diakui, karena masih adanya stigma terhadap status ‘anak haram’, bahkan dari keluarga sendiri,” tutur Yulinda.

“Hal tersebut membuat mereka sulit menemukan posisi yang jelas dalam struktur keluarga maupun dalam masyarakat,” tuturnya. (hm20)

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN