Sunday, October 12, 2025
home_banner_first
BUDAYA

Budaya Melayu di Ujung Tanduk, MCP Medan Gunakan Media Sosial Sebagai Solusi

Mistar.idMinggu, 12 Oktober 2025 16.55
journalist-avatar-top
AA
budaya_melayu_di_ujung_tanduk_mcp_medan_gunakan_media_sosial_sebagai_solusi

Galin Zaihan Muzakki, founder Malay Creative Project (MCP). (Foto: amita/mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Komunitas anak muda di Kota Medan kini mulai beralih ke media sosial sebagai wadah utama untuk melestarikan dan mempromosikan budaya Melayu, di tengah kekhawatiran akan krisis identitas lokal di ibu kota Sumatera Utara.

Gerakan ini dipelopori oleh Galin Zaihan Muzakki, founder Malay Creative Project (MCP), yang aktif mengedukasi publik tentang budaya Melayu melalui konten digital.

Galin menyatakan bahwa Medan saat ini menghadapi kesulitan dalam menentukan identitas budayanya.

“Memang kendalanya saat ini, Medan tidak punya identitas. Mereka tidak tahu identitas Kota Medan itu sebenarnya apa,” kata Galin dalam acara Heritage Talks yang dilaksanakan secara daring, Minggu (12/10/2025).

Ia mencontohkan bahwa slogan populer Medan sering didominasi kata “Horas”, padahal identitas budaya Melayu lebih dekat dengan seruan “Ahoi”.

“Inilah tugas kami sebagai anak muda, lebih kepada mengangkat batang yang terendam,” ucapnya.

Alih-alih menggunakan metode organisasi tradisional, MCP memilih jalur konten digital sebagai strategi utama, menyesuaikan diri dengan perilaku generasi muda masa kini.

“Semangat kemerdekaan sekarang, tidak perlu seperti Soekarno yang berorasi dengan suaranya yang lantang. Cukup dengan media sosial, orang itu sudah menggebu-gebu,” ujarnya.

Menurut Galin, media sosial menjadi alat paling efektif untuk memperjuangkan pelestarian budaya, terutama di tengah keterbatasan ekonomi.

“Hanya cukup dengan telepon genggam, beberapa orang, tapi jangkauan itu sudah ribuan orang,” tuturnya.

Melalui berbagai konten, MCP berupaya melestarikan tradisi, seni, dan nilai-nilai Melayu, sekaligus mempromosikan lokasi bersejarah Kesultanan Melayu, seperti kawasan Labuhan Bilik yang memiliki nilai sejarah tinggi.

Dalam diskusi tersebut, Galin juga menyampaikan kritik terhadap kondisi Istana Maimun, yang disebutnya sudah kehilangan kesakralan.

“Kita tahu sekarang Istana Maimun ini ada pasar malamnya. Ada tong setan dan kereta-kereta apian,” katanya.

Ia menilai masyarakat lokal kurang menghargai nilai sejarah Istana Maimun, karena lebih banyak datang untuk hiburan malam atau berswafoto. Galin bahkan membandingkannya dengan Yogyakarta, di mana bangunan bersejarah masih dijaga dengan baik.

“Harap dari komunitas anak muda di Kota Medan, baik itu dari pemerintah daerah, pemerintah kota, dan pemerintah pusat, mohon lihat Istana Maimun ini, begini nasibnya,” ucap Galin.

Galin juga menyoroti kerusakan fisik di bagian belakang Istana Maimun yang mulai menurun, dan berharap perhatian lebih dari pemerintah serta masyarakat agar warisan budaya Melayu tidak hilang ditelan modernisasi.

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN