Friday, September 19, 2025
home_banner_first
SUMUT

Saat Program MBG "Menyantap" Anggaran Pendidikan

Jumat, 19 September 2025 07.00
saat_program_mbg_menyantap_anggaran_pendidikan

Sekda Pakpak Bharat Jalan Berutu membagikan makanan gratis bagi siswa sekolah dasar. (f:sampang/mistar)

news_banner

Pakpak Bharat, MISTAR.ID

Delapan bulan berjalan, program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang diharapkan Presiden Prabowo Subianto sebagai solusi stunting, justru dihantam berbagai kritik.

Alih-alih menyehatkan anak bangsa, program ini memicu polemik karena menyedot hampir separuh anggaran pendidikan dan berulang kali dikaitkan dengan kasus keracunan siswa di berbagai daerah.

Terlebih setelah biaya MBG sebesar Rp335 triliun justru diambil dari alokasi anggaran pendidikan 2026 sebesar Rp757,8 triliun. Jumlahnya nyaris setengah atau tepatnya 44,2%.

Artinya, akan ada anggaran program pendidikan di sektor lain yang harus dikorbankan. Entah itu dana BOS, pembangunan infrastruktur, atau malah insentif para guru. Pastinya, semua tengah menanti dengan harap-harap cemas.

Meski MBG adalah sebuah program yang memiliki tujuan mulia untuk mengurangi stunting dengan memenuhi kebutuhan gizi anak, sehingga anak bisa belajar dengan konsentrasi, program ini belum terbukti efektif.

Masih banyak persoalan yang harus dihadapi. Sebut saja risiko korupsi dan penyelewengan, yang ditunjukkan melalui ketiadaan payung hukum yang kuat, konflik kepentingan dalam pemilihan mitra, cacatnya proses pengadaan dan pengawasan, serta masalah kualitas dan keamanan pangan yang menyebabkan kasus keracunan.

Teranyar, Rabu 17 September 2025, belasan siswa SMA Negeri 2 Lamongan diduga keracunan jatah makan bergizi gratis (MBG). Belum lama ini juga, sebanyak 69 siswa SMKN 1 Cibadak dilaporkan mengalami gejala keracunan makanan setelah menyantap hidangan MBG, Kamis (11/9/25).

Rentetan persoalan MBG masih persoalan yang sama, yakni pendistribusian yang tidak efektif menambah persoalan baru. Buru-buru bicara soal makanan bergizi, yang ada anak malah keracunan makanan.

Menyusul lagi dengan munculnya surat pernyataan nyeleneh. Dua sekolah di SDN 17 Napo Polewali Mandar dan MTs Negeri 2 Brebes meminta orang tua menandatangani surat pernyataan membebaskan pihak penyelenggara dari tanggung jawab jika terjadi keracunan makanan, bahkan melarang kasus dibicarakan ke publik.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengatakan, sekolah dan madrasah dijadikan “bumper” sehingga orang tua maupun pihak sekolah dipaksa menanggung risiko kesehatan murid, padahal tanggung jawab utama ada pada pemerintah.

“Fenomena ini bisa menjadi skandal besar yang menunjukkan negara berusaha lepas tangan dari tanggung jawab, dan justru menjerumuskan anak-anak Indonesia menjadi korban. Negara seakan berkata 'kalau anakmu keracunan, itu risiko sendiri',” ujarnya.

Menurut JPPI, kebijakan ini melahirkan praktik lempar tanggung jawab dari hulu ke hilir. Sekolah, madrasah, dan orang tua ditekan menanggung risiko, sementara Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) hanya berperan sebagai pelaksana teknis.

Sementara itu, studi dari UGM dan sejumlah lembaga menunjukkan distribusi bermasalah, kualitas gizi tidak terjamin, serta minim keterlibatan ahli gizi dan pengawasan publik.

Pemindahan Anggaran Salah Kaprah

Menanggapi berbagai persoalan dalam program MBG, Farid Wajdi, Founder Ethics of Care, mengatakan memindahkan hampir separuh anggaran pendidikan ke MBG bukan hanya salah kaprah, tetapi juga mengabaikan kewajiban negara untuk menegakkan konstitusi.

Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 itu menyatakan, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan hak pendidikan gratis tanpa pungutan sebagai mandat konstitusional. Namun, realitas menunjukkan putusan tersebut tidak diindahkan. Pemerintah justru lebih memilih fokus pada MBG.

Akibatnya, menurut Farid, pemindahan anggaran ini mengakibatkan misalokasi anggaran. Padahal, pendidikan memiliki kebutuhan mendesak, seperti peningkatan kualitas guru, perbaikan fasilitas, digitalisasi pembelajaran, hingga menghapus pungutan liar di sekolah.

Ia menyayangkan, mengorbankan hal-hal mendasar itu demi proyek makanan massal sama artinya dengan menambal luka di kaki dengan merobek kulit kepala.

"Masalah gizi jelas penting, tetapi solusinya lebih tepat dibiayai dari pos kesehatan, ketahanan pangan, atau perlindungan sosial—bukan dengan memangkas nafas pendidikan," katanya, Rabu (17/9/25).

Lebih parah lagi, menurut Farid, MBG berpotensi menjadi lahan rente. "Transparency International Indonesia telah mengingatkan adanya risiko korupsi yang besar. Pengadaan massal yang rawan mark-up, distribusi tak transparan, hingga monopoli penyedia," ujarnya.

"Tanpa regulasi ketat, audit independen, dan partisipasi masyarakat sipil, MBG lebih mirip proyek politik ketimbang investasi sosial. Kita tentu tidak ingin menyaksikan program bergizi gratis berubah menjadi pesta rente dengan bungkus kesejahteraan rakyat," imbuh Farid.

Pemerintah, lanjut Farid, bisa berargumen MBG adalah ikhtiar menghadapi stunting dan gizi buruk. Tetapi harus diingat, efektivitas kebijakan tidak bisa diukur hanya dari niat baik, melainkan dari hasil nyata.

Jika stunting tetap tinggi sementara kualitas pendidikan justru merosot akibat anggaran terpangkas, maka generasi mendatang menerima kerugian ganda: tubuh yang lemah dan pikiran yang tumpul.

Farid meminta pemerintah menghentikan praktik serampangan menggeser anggaran pendidikan untuk program non-pendidikan. Bila MBG tetap dianggap strategis, perlu dasar hukum yang jelas, pos anggaran yang tepat, serta mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang ketat.

Yang terpenting lainnya, menurut Farid, putusan MK tentang sekolah gratis wajib dipatuhi penuh, sebab mengabaikan konstitusi hanya akan melemahkan legitimasi negara di mata rakyat.

"Pendidikan adalah investasi jangka panjang, bukan ruang eksperimen politik sesaat. Menggadaikan hampir separuh anggarannya untuk MBG sama dengan mempertaruhkan masa depan bangsa."

Menurutnya, jika pemerintah serius memperjuangkan gizi anak, silakan lakukan, tetapi jangan dengan cara merampas hak pendidikan.

"Publik mengingatkan para pengambil kebijakan untuk berhenti terjebak pada populisme anggaran. Sudah saatnya keberanian politik ditunjukkan bukan dengan program yang mudah dipasarkan, melainkan dengan komitmen teguh menjaga konstitusi dan menempatkan pendidikan sebagai jantung pembangunan nasional," tegas Farid.

MBG di Tengah Keterbatasan Fiskal

Terpisah, pengamat kebijakan publik dan anggaran, Elfenda Ananda, mengatakan dari sisi anggaran, program ini otomatis akan menyedot porsi signifikan dari APBN/APBD, sehingga berpotensi mengurangi ruang fiskal untuk sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, atau subsidi energi.

Bila dilaksanakan secara menyeluruh dan konsisten, program MBG direncanakan dengan alokasi ratusan triliun rupiah dari alokasi sebelumnya yang mencapai angka Rp71 triliun.

Di tengah keterbatasan fiskal ditambah beban hutang, tidak ada relevansinya MBG lebih mendesak dibanding pentingnya meningkatkan sumber daya manusia dengan meningkatkan kualitas pendidikan, pelayanan kesehatan ibu-anak, atau subsidi pangan pokok dan sebagainya.

"Kelihatan sekali bahwa MBG lebih mementingkan popularitas janji politik ketimbang menyelesaikan akar masalah. Padahal ada risiko 'political populism'. Program populer untuk menarik simpati, tetapi belum tentu paling efektif untuk mengatasi akar masalah stunting atau ketahanan pangan," ujar Elfenda, Rabu (17/9/25).

Elfenda juga mengkritisi persoalan efektivitas dan target. Jika berbasis sekolah, MBG bisa menjangkau anak-anak usia didik. Tetapi bagaimana dengan balita (0–5 tahun) yang justru paling rentan terhadap stunting? Prioritas program MBG yang dijalankan pemerintah saat ini dibanding mengatasi rentannya persoalan stunting sangat memprihatinkan.

"Sasaran program MBG berlaku untuk semua (universal). Model MBG secara universal ini berpotensi boros anggaran karena subsidi juga dinikmati kelompok mampu," sebutnya.

Selain itu, dalam aspek akuntabilitas & potensi kebocoran, penyediaan makanan rawan terjadi mark-up harga, pengadaan fiktif, dan praktik rente politik (misalnya monopoli vendor penyedia pangan). Mekanisme distribusi yang tidak transparan, apakah lewat sekolah, koperasi, atau yang lain.

"BUMDes, vendor swasta, bahkan pihak aparat TNI tanpa desain pengawasan yang baik, rawan jadi ladang korupsi. Anggaran MBG yang dikelola pusat, di mana daerah hanya jadi pelaksana teknis atau menyediakan tempat, bisa menimbulkan ketidaksesuaian dengan kondisi lokal," ungkap Elfenda.

Keberlanjutan program MBG, kata dia, patut dipertanyakan dengan kemampuan APBN tahun 2025 sebesar Rp3.600 triliun termasuk menanggung beban utang plus bunga yang mencapai Rp1.300 triliun per tahun.

"Program ini bisa menambah risiko defisit keuangan secara struktural. Dengan beban APBN yang demikian, ditambah pembengkakan kabinet akibat kompromi politik serta tata kelola pemerintah yang belum bebas korupsi, akan memberatkan beban APBN untuk sektor-sektor ekonomi dan lainnya," katanya.

Di satu sisi, sambung Elfenda, sumber penerimaan negara lewat peningkatan pajak akan membebani rakyat, pemangkasan subsidi, atau utang baru juga membebani rakyat.

Apalagi saat ini rakyat sedang mengalami tekanan hebat dalam soal ekonomi, PHK, sulitnya lapangan kerja, dan bisnis yang lesu. Seharusnya, pemerintah lebih memprioritaskan peningkatan perekonomian rakyat, memberantas korupsi, dan memangkas kebijakan yang merugikan rakyat.

"Janji politik bahwa program MBG dapat menurunkan prevalensi stunting, meningkatkan konsentrasi belajar, atau lebih sekadar gimmick politik. Tanpa indikator yang tegas, program rawan jadi sekadar simbol keberhasilan semu, tidak berdampak jangka panjang," ujar Elfenda menegaskan.

Program MBG secara ide cukup populis dan mulia (peningkatan gizi anak, pendidikan, kesehatan), tetapi dari perspektif anggaran, penuh risiko besar pada keberlanjutan fiskal dan pemborosan jika tidak ada target yang jelas.

"Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi syarat utama untuk mencegah kebocoran. Perlu dikaji apakah lebih tepat universal atau tertarget (misalnya hanya untuk keluarga miskin/rentan)," ucap Elfenda.

"Dari beban fiskal sangat berat, seharusnya jangan sampai memangkas sektor lain, apalagi sampai menambah utang. Perlu langkah-langkah efisiensi anggaran dan kajian lebih serius ke depannya kalau ingin melaksanakan program MBG," tambahnya.

Sebab, menurutnya, situasi APBN sangat kritis. Program efisiensi anggaran yang seharusnya dapat memperbaiki situasi fiskal untuk program lebih penting, jangan dipaksakan untuk program MBG. (mis/hm17)

REPORTER: