Pengamat Sumut: Kasus Ijazah Jokowi Jadi Titik Balik Supremasi Hukum

Pengamat politik Sumatera Utara, Shohibul Anshor. (foto:dokumen/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Pengamat politik Sumatera Utara (Sumut), Shohibul Anshor Siregar menilai kasus ijazah mantan Presiden Jokowi menjadi momentum supremasi hukum, yang merupakan prinsip fundamental negara hukum sebagai otoritas tertinggi dalam penyelenggaraan negara.
Menurutnya, saat ini masyarakat Sumut, khususnya di Kota Medan, memiliki tingkat literasi politik yang tinggi terhadap dinamika kekuasaan nasional, termasuk pada isu yang berakar dari konteks globalisasi.
Ia mengatakan, isu dugaan ijazah palsu mantan Presiden Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka bukan hal yang sulit dicerna oleh publik, khususnya masyarakat Sumut.
“Masyarakat di sini well-informed. Mereka tahu cara membaca situasi politik nasional dan memahami relasi kekuasaan yang bermain di balik layar,” katanya kepada wartawan, Rabu (8/10/2025).
Ia menyampaikan, kehadiran tiga penulis buku Jokowi’s White Paper—Roy Suryo, Rismon H. Sianifar, dan Tifa—yang dijadwalkan hadir di Medan pada 10 Oktober mendatang, akan menjadi momentum penting dalam konsolidasi sosial masyarakat.
“Saya rasa itu seperti social consolidation untuk meneguhkan harapan masyarakat bahwa penegakan supremasi hukum masih mungkin terjadi di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo,” ucapnya.
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) itu menambahkan, saat ini publik menyadari banyak partai politik yang bersikap ‘wait and see’ terkait arah pemerintahan ke depan.
“Rakyat tentunya mengetahui, partai-partai sedang berhitung untung dan rugi politik. Saya rasa sikap itu memuakkan. Revolusi keadaan memang berisiko, tetapi rakyat sadar banyak kekuatan institusional pemerintah masih ambivalen—antara ingin orde Jokowi atau orde Prabowo,” ujarnya.
Ia menyampaikan, kegelisahan masyarakat saat ini justru tertuju pada tanda-tanda bahwa Orde Prabowo mulai kehilangan harapan perubahan yang sebelumnya dijanjikan.
“Saya rasa masyarakat Sumut ingin melangkah lebih maju. Mereka tidak ingin trauma nasional selama satu dekade di bawah kepemimpinan Jokowi terlupakan. Justru peristiwa itu harus ditelaah secara hukum agar menjadi evaluasi bangsa,” katanya.
Ia menilai, refleksi penting yang kini muncul di tengah masyarakat Sumut merupakan pertanyaan mendasar: “Mengapa bangsa sebesar Indonesia bisa begitu naif selama sepuluh tahun terakhir? Dan bagaimana hal memilukan itu tidak terulang?” ucapnya.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa isu tersebut tidak berdiri sendiri. “Ada anatomi kasus yang lebih luas, sebagaimana pernah diungkap mantan perwira intelijen, Kolonel Sri Radjasa. Skenario eksternal untuk memecah Indonesia juga bukan isapan jempol. Ini serius dan harus menjadi bagian dari kesadaran nasional,” ujarnya.
Ia menegaskan, masyarakat Sumut saat ini berada pada fase kedewasaan politik dengan tuntutan keberanian negara dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
“Inilah saatnya supremasi hukum berdiri tegak. Bukan sekadar untuk menghukum masa lalu, tetapi untuk memastikan masa depan bangsa tidak lagi dikelabui,” tutur Shohibul mengakhiri. (*)