Saturday, October 18, 2025
home_banner_first
SUMUT

Pemprov Sumut Gencarkan Upaya Penyelesaian Konflik Agraria di Berbagai Daerah

Mistar.idSabtu, 18 Oktober 2025 11.20
RJ
MA
pemprov_sumut_gencarkan_upaya_penyelesaian_konflik_agraria_di_berbagai_daerah

Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat bersama Biro Pemerintahan dan Biro Otonomi Daerah Setdaprov, Basarin Yunus Tanjung, konferensi pers terkait upaya penyelesaian isu pertanahan di Sumut. (foto:diskominfosumut/mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara (Sumut) terus mengintensifkan langkah-langkah strategis untuk menuntaskan konflik agraria yang masih menjadi persoalan serius di berbagai kabupaten/kota di wilayah Sumut.

Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setdaprov Sumut, Basarin Yunus Tanjung, menyampaikan hal itu dalam kegiatan temu pers yang digelar Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Sumut di Jalan Diponegoro, Kota Medan, Jumat (17/10/2025).

“Kita sedang melakukan langkah strategis, beberapa di antaranya pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), mendorong penyelesaian batas desa dan kelurahan, pembentukan Satgas Anti Mafia Tanah, serta tim inventarisasi konflik agraria,” ujar Basarin.

Ia menjelaskan, berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sumatera Utara termasuk salah satu provinsi dengan jumlah konflik agraria tertinggi di Indonesia.

“Terdapat 133 kasus konflik agraria di Sumut yang mencakup sekitar 34 ribu hektare lahan dan berdampak terhadap lebih dari 11 ribu kepala keluarga,” katanya.

Basarin menuturkan, konflik agraria umumnya terjadi antara masyarakat dengan perusahaan pemegang hak konsesi seperti Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), maupun Hak Pengelolaan Lahan (HPL).

“Permasalahan timbul karena proses pelepasan lahan dari masyarakat ke perusahaan sering kali tidak dilakukan secara transparan dan adil. Selain itu, tumpang tindih kepemilikan tanah akibat perpindahan hak yang tidak jelas turut memperparah situasi,” terangnya.

Ia juga menyinggung sejarah panjang persoalan tanah di Sumut yang berakar sejak masa kolonial Belanda tahun 1870, terutama di wilayah perkebunan pantai timur.

“Saat itu, tanah-tanah milik para sultan diberikan sebagai konsesi kepada perusahaan Belanda. Sementara di wilayah pantai barat dan pegunungan Bukit Barisan, tanah merupakan hak ulayat masyarakat adat yang digunakan untuk pertanian,” katanya.

Basarin mencontohkan keberhasilan penyelesaian konflik agraria di Desa Mbal-Mbal Petarum, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo.

“Di wilayah itu, masyarakat yang sebelumnya mengelola lahan penggembalaan mengalihfungsikan lahan menjadi area pertanian seluas 682 hektare,” jelasnya.

Penyelesaian tersebut dilakukan melalui penetapan Perda Kabupaten Karo, serta penerbitan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang memberikan hak pengelolaan hutan kemasyarakatan seluas 183 hektare kepada 39 kepala keluarga.

“Kami berharap seluruh persoalan pertanahan di Sumut dapat diselesaikan secara damai dan berkeadilan, tanpa intimidasi atau kekerasan dari pihak mana pun,” tegasnya. (hm16)

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN