Menag Nasaruddin Umar: Rumah Ibadah Adalah Rumah Kemanusiaan

Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar. (foto:susan/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Menteri Agama (Menag) RI, Nasaruddin Umar, menegaskan bahwa rumah ibadah tidak hanya menjadi tempat umat beragama berdoa, melainkan juga sebagai rumah kemanusiaan.
“Rumah ibadah itu sesungguhnya adalah meeting point antara Tuhan dengan hamba-Nya,” ujarnya saat menghadiri peletakan batu pertama pembangunan jembatan dan akses jalan menuju Desa Wihara Mahakaruna Buddhist Center di Kabupaten Deli Serdang, Rabu (20/8/2025).
Ia mencontohkan Masjid Istiqlal yang terbuka untuk semua kalangan, bahkan bagi umat agama lain. “Sebagai imam besar, saya membuka peluang siapapun boleh masuk Istiqlal. Istiqlal adalah rumah besar kemanusiaan. Agama apapun, kalau membutuhkan ruang pertemuan, silahkan,” katanya.
Nasaruddin juga menekankan pentingnya ruang sakral sebagai tempat manusia melepaskan beban hidup, termasuk melalui tangisan. Ia mengutip hasil penelitian yang menyebutkan air mata yang dipendam justru dapat menjadi racun bagi tubuh.
“Mungkin kita malu menangis di rumah atau di depan keluarga. Karena itu, rumah ibadah hadir untuk menjadi tempat meratapi dosa masa lalu dan menyesali perbuatan keliru. Menangislah sepuasnya, jangan dipendam,” tutur Menag.
Selain itu, ia menyebut rumah ibadah harus menjadi simbol kerukunan. Ia mengingat momen saat Paus Fransiskus mengunjungi Masjid Istiqlal pada 2024, di mana foto pertemuan itu bahkan terpilih sebagai photo of the year.
“Kalau semua orang saling mencintai, selamat tinggal pertengkaran dan konflik. Saya yakin jika ajaran agama dijalankan sungguh-sungguh, kita tidak perlu polisi, karena polisinya ada di dalam hati,” ujar Nasaruddin.
Ia menambahkan, menjadi tantangan tersendiri bagi Kementerian Agama (Kemenag) untuk mendekatkan ajaran agama dengan umatnya. “Jangan seperti orang bermain layangan. Layangannya di atas, agamanya tinggi, tapi pemainnya tetap di bawah,” ucapnya.
Dalam kesempatan itu, Nasaruddin juga memperkenalkan konsep ekoteologi yang tengah dikembangkan Kemenag. Menurutnya, teologi yang selama ini digunakan terlalu maskulin, sementara kitab suci lebih banyak menekankan sifat feminin.
“Jika ingin mencontoh Tuhan, bacalah kitab suci dengan kacamata feminin. Tidak mungkin kita mengaku beragama tetapi bersikap kasar dan jahat. Tidak mungkin ada satu payung yang menaungi kebatilan dan kebenaran sekaligus,” tuturnya.
Ia berharap, konsep ekoteologi mampu menghadirkan kerukunan tidak hanya antar manusia, tetapi juga harmoni dengan alam semesta.
“Insya allah, kerukunan akan terwujud. Bukan saja antar manusia, tapi juga rukun dengan alam, bahkan dengan benda-benda mati,” tutup Nasaruddin. (susan/hm16)