Friday, September 19, 2025
home_banner_first
SUMUT

Akademisi: Masyarakat Masih Terjebak Mindset Lama, Kayu Dianggap Satu-satunya Hasil Hutan

Jumat, 19 September 2025 18.16
akademisi_masyarakat_masih_terjebak_mindset_lama_kayu_dianggap_satusatunya_hasil_hutan

Akademisi dari USU Dr. Iwan Risnasari. (foto:susan/mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Akademisi Universitas Sumatera Utara (USU), Dr. Iwan Risnasari, menilai persoalan degradasi dan deforestasi hutan di Indonesia tidak terlepas dari pola pikir masyarakat yang masih menganggap kayu sebagai satu-satunya hasil bernilai dari hutan.

"Mindset kita masih terpaku pada kayu. Padahal, jika dilihat lebih luas, hasil hutan bukan kayu (HHBK) juga memiliki nilai ekonomi yang sangat besar," ujarnya dalam diskusi lingkungan di Medan, Jumat (19/9/2025).

Pewarna Alami dari Hutan: Potensi Terlupakan

Dosen Program Studi Kehutanan itu menjelaskan, banyak tanaman hutan yang berpotensi sebagai sumber pewarna alami, termasuk tanaman khas daerah dan ekosistem mangrove.

"Contohnya, akar mengkudu di Nusa Tenggara masih digunakan sebagai pewarna merah tradisional tanpa campuran kimia," ucapnya.

Namun ia mengingatkan, potensi ini rawan eksploitasi berlebihan jika tidak disertai upaya budidaya dan konservasi.

"Kalau hanya diambil terus-menerus tanpa dibudidayakan, bisa saja bahan-bahan ini punah," kata Iwan.

Sumut Punya Potensi Pewarna dari Limbah Kayu

Di Sumatera Utara sendiri, berbagai jenis kayu seperti tinggi, secang, mahoni, hingga limbah kayu merbau terbukti mengandung pigmen warna alami.

"Dari riset sederhana yang saya lakukan, serbuk kayu merbau dari bekas panglong bisa laku puluhan kilogram hanya dalam dua hari," ujarnya. Hal ini, menurut Iwan, menunjukkan potensi ekonomi yang selama ini kurang disadari masyarakat.

Selain pewarna alami, HHBK lain seperti madu hutan, rotan, dan resin jernang juga memiliki nilai tinggi. Resin jernang, misalnya, telah lama dimanfaatkan sebagai bahan pewarna keramik dan farmasi di pasar global.

Tantangan: Pemasaran dan Keberlanjutan

Sayangnya, data dan pemetaan HHBK di Indonesia masih sangat terbatas. Iwan menilai bahwa tantangan terbesar bukan hanya pada edukasi atau pelatihan, melainkan pemasaran dan kesinambungan usaha.

"Pendampingan berkelanjutan sangat penting, mulai dari pemasaran digital, desain kemasan, hingga akses ke pameran dan pasar ekspor," ucapnya.

Sinergi Adalah Kunci

Menurut alumnus S3 Teknologi Serat dan Komposit, IPB ini, sinergi antara universitas, pemerintah, dan sektor swasta menjadi kunci sukses pengembangan HHBK. Termasuk melibatkan komunitas adat yang selama ini telah memanfaatkan hutan secara tradisional dan lestari.

"Beberapa komunitas adat di Sumatera Utara telah memanfaatkan kulit kayu Sikam dan Balaka untuk kuliner dan pewarna sejak lama. Ini bisa dikembangkan untuk industri batik alami, tenun, dan tekstil ramah lingkungan," ujarnya.

Lebih lanjut, Iwan menyatakan bahwa pemanfaatan cabang, daun, hingga serbuk kayu dapat menjadi alternatif ekonomi tanpa harus merusak ekosistem hutan.

"Jika masyarakat tahu bahwa daun, cabang, atau limbah kayu punya nilai, mereka tidak akan menebang pohon sembarangan. Ini soal mengubah mindset," katanya mengakhiri. (susan/hm27)

REPORTER: