KontraS Sumut Kecam Program Disdik Siantar, Pendidikan Bukan Militer

Staf Kampanye dan Opini Publik KontraS Sumut, Adhe Junaedy (tengah). (Foto: Dokumentasi Pribadi Adhe Junaedy)
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara (Sumut) mengecam rencana Dinas Pendidikan Kota Pematangsiantar yang membuat program pembinaan pelajar nakal di barak dengan pendekatan militeristik.
Hal ini diketahui dari sejumlah media saat rapat kerja Komisi II DPRD bersama Dinas Pendidikan Kota Pematangsiantar yang digelar Kamis (11/9/2025).
Staf Kampanye dan Opini Publik KontraS Sumut, Adhe Junaedy, menyampaikan sebagai lembaga yang fokus pada isu hak asasi manusia (HAM), KontraS menolak kebijakan tersebut.
“Menurut kami, barak militer bukan metode yang tepat dalam mengatasi kenakalan pelajar. Terlebih, kebijakan ini justru menyalahi tugas dan kewenangan TNI,” ujar Adhe saat dihubungi, Selasa (17/9/2025).
Fungsi TNI tidak diperuntukkan untuk mendidik anak, apalagi di ranah sipil. Dikhawatirkan, pelajar yang dikirim ke barak bukannya terdidik, melainkan menjadi dekat dengan budaya kekerasan yang kerap dipertontonkan oleh TNI.
Hal itu, menurutnya, dapat dibuktikan dengan beberapa peristiwa kekerasan yang dilakukan prajurit TNI di ranah sipil, bahkan sampai menghilangkan nyawa anak. Misalnya, kasus yang menewaskan pelajar berinisial MAF, 13 tahun, di Serdang Bedagai dan MHS, 15 tahun, di Deli Serdang.
Keduanya tewas diduga ditembak oleh prajurit TNI. Sepanjang periode Juni 2024-Juni 2025, KontraS Sumut mencatat setidaknya terdapat enam peristiwa kekerasan di ranah sipil yang dilakukan prajurit TNI di Sumut.
“Maka, menyeret anak masuk ke dalam barak militer adalah cacat pikir pemerintah daerah dalam menangani kenakalan pelajar. Pemerintah harusnya bisa mencari solusi yang lebih bijak,” kata Adhe.
Ia menekankan pentingnya mengkaji akar permasalahan kenakalan pelajar dari berbagai aspek, terutama aspek sosiologis, bukan malah menjadikan militerisme sebagai solusi.
Menurut KontraS, corak militeristik tidak menjawab akar persoalan penyebab anak berperilaku menyimpang. Terlebih, citra TNI saat ini kurang baik karena terlibat dalam banyak kasus kekerasan.
Alih-alih memberikan dampak positif, menyeret pelajar nakal ke barak militer dikhawatirkan menimbulkan dampak psikologis. Pendidikan berbasis militer bagi pelajar nakal dapat memberi stigma yang justru memperparah kondisi psikologis, bukan menimbulkan efek jera.
Penempatan anak ke barak militer juga akan menguatkan label “anak nakal”, sebuah stigma yang berbahaya bagi kesehatan mental. Selain itu, dasar hukum mengirim anak ke barak militer patut dipertanyakan.
Sebab, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 4 Ayat 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak mengatur ketentuan yang membenarkan penggunaan barak militer sebagai lembaga pembinaan bagi anak sekolah.
Jika pelajar diduga berperilaku menyimpang, seperti terlibat tawuran atau kekerasan, seharusnya penanganan diatur oleh undang-undang perlindungan anak terkait kategori anak dengan perlindungan khusus.
Ketentuan ini menjadi prinsip dasar penyelenggaraan sistem pendidikan nasional di Indonesia: pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM.
“Negara sebagai otoritas punya tanggung jawab dalam mendidik anak, namun harus dengan solusi yang bijak. Pemerintah juga harus mendorong orang tua murid ikut proaktif dalam pemantauan,” kata Adhe.
Atas dasar itu, KontraS menyerukan agar Dinas Pendidikan Pematangsiantar membatalkan rencana pendisiplinan pelajar di barak militer karena tidak sesuai dengan prinsip pendidikan dan perlindungan anak.
KontraS juga mendorong lembaga negara seperti KPAI, Komnas Perempuan, dan Komnas HAM untuk menyikapi secara serius program pemerintah daerah yang memasukkan anak nakal ke barak militer. (hamzah/deddy/hm25)
PREVIOUS ARTICLE
Rapat Alot, DPRD Simalungun Tekan Pemkab Soal Pasar Serbelawan