Friday, July 18, 2025
home_banner_first
SAHABAT PENDIDIKAN

Pakar Pendidikan Kritik Kelas 50 Siswa: Bukan Solusi, Tapi Masalah Baru

journalist-avatar-top
Kamis, 17 Juli 2025 09.51
pakar_pendidikan_kritik_kelas_50_siswa_bukan_solusi_tapi_masalah_baru

Siswa SD belajar di dalam kelas. (Foto: Sekolah.link/Mistar)

news_banner

Jakarta, MISTAR.ID

Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang memperbolehkan sekolah negeri menampung hingga 50 siswa per kelas menuai sorotan. Meski disebut sebagai solusi sementara, banyak pihak menilai kebijakan ini justru bisa berdampak negatif terhadap kualitas pendidikan.

Salah satu yang mengkritisi kebijakan tersebut adalah Bukik Setiawan, seorang ahli psikologi dan pakar pendidikan. Menurutnya, belajar bukan hanya soal mendengar ceramah dari guru, melainkan juga soal interaksi, eksplorasi, dan pengalaman belajar yang mendalam.

“Bukan karena guru tidak mampu bicara di depan 50 orang, tapi karena belajar itu soal saling mengenal, bertanya, berdiskusi, mencoba, bahkan salah, lalu memperbaiki,” ujar Bukik, seperti dilansir dari Kompas.com, Kamis (17/7/2025).

Menurut Bukik Setiawan, kebijakan ini berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap proses belajar-mengajar dan kesehatan psikologis siswa. Berikut beberapa dampak yang diidentifikasi:

1. Semakin Banyak Siswa Tertinggal

Dengan kapasitas kelas yang besar, perhatian guru kepada siswa akan menurun. Murid dengan kesulitan belajar, pemalu, atau membutuhkan pendekatan khusus bisa jadi tidak terlayani dengan baik. Bahkan dalam kelas normal sekalipun, masih banyak siswa yang kesulitan memahami materi.

2. Hubungan Guru dan Siswa Menjadi Jauh

Jumlah murid yang terlalu banyak akan membuat interaksi antara guru dan siswa menjadi minimal. Bukik menilai, hubungan pengajar dan peserta didik bisa berubah menjadi formalitas belaka—kaku dan berjarak—karena tidak ada cukup waktu untuk membangun koneksi personal.

3. Potensi Meningkatnya Kekerasan di Sekolah

Minimnya pengawasan di kelas besar bisa memunculkan kelompok-kelompok kecil yang tidak terpantau. Hal ini bisa menciptakan ruang bagi perundungan (bullying), ejekan, hingga pengucilan sosial antar siswa.

“Kelompok-kelompok kecil bisa terbentuk tanpa pengawasan memadai, menciptakan ruang untuk ejekan, penindasan, atau pengucilan yang sulit terdeteksi,” ujar Bukik.

4. Manipulasi Kuota dan Penyalahgunaan Kebijakan

Selain isu pedagogis dan psikologis, publik juga mengkhawatirkan potensi manipulasi kuota. Ketika aturan membolehkan kelas berisi 50 siswa, bisa saja terjadi penyalahgunaan kuota dengan dalih efisiensi, yang pada akhirnya malah menurunkan kualitas pembelajaran.[]

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN