Tuesday, October 28, 2025
home_banner_first
OPINI

Refleksi Sumpah Pemuda dalam menjemput tantangan pengembangan SDM Sumatera Utara

Mistar.idSelasa, 28 Oktober 2025 19.16
FN
MA
refleksi_sumpah_pemuda_dalam_menjemput_tantangan_pengembangan_sdm_sumatera_utara

Defri Noval Pasaribu, M.Si. (foto:istimewa/mistar)

news_banner

Oleh: Defri Noval Pasaribu, M.Si

Sumpah Pemuda, yang kita peringati setiap 28 Oktober, adalah sebuah peristiwa historis. Ia adalah fondasi yang memberikan kita jawaban definitif atas pertanyaan "Siapa Kita?". Kita adalah satu: Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Namun, saya khawatir, kita seringkali berhenti pada perayaan seremonial persatuan itu.

Seringkali kita lupa, bahwa Sumpah Pemuda 1928 bukanlah garis Finish. Ia adalah garis start sekaligus bahan bakar yang menyulut sebuah perjuangan baru yang lebih sunyi, lebih kompleks, namun tak kalah menentukan: perjuangan intelektual di panggung global.

Satu tahun sebelum peristiwa heroik itu terjadi, sejarah mencatat para pemuda yang salah satunya di kemudian hari menjadi wakil presiden pertama Indonesia hadir di antara pemimpin politik dunia di Brussels, Belgia. Mereka berdiri tegak menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme di Kongres Brussels pada tahun 1927.

Semangat juang inilah yang kini harus kita restorasi kembali di Sumatera Utara. Sebab tantangan kontemporer telah berubah sedemikian rupa, bukan lagi kolonialisme dan imperialisme klasik, tetapi tantangan neo imperialisme dalam bentuk yang lebih mutakhir.

Kita dihadapkan pada sebuah paradoks besar. Data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sumatera Utara 2025 (berdasarkan rilis BPS) memang menempatkan kita di kategori 'Tinggi' dengan indeks 75,76. Sebuah pencapaian yang patut diapresiasi sebab berada diatas rata-rata nasional.

Namun, mari kita jujur. Apakah laju kemajuan SDM kita sudah sepadan dengan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) kita yang melimpah ruah? Apakah kita sudah merdeka dari "penjajahan" baru, yakni 'kutukan sumber daya alam'—situasi di mana kekayaan alam justru membuat kita abai membangun modal terpenting: manusia.

Di sinilah relevansi perjuangan pasca-Sumpah Pemuda menemukan wujudnya dan mesti kita restorasi dalam gerak pemuda Indonesia kini.

Saya teringat pada sebuah buku brilian karya sejarawan Klaas Stutje, "Campaigning in Europe for a Free Indonesia: Indonesian Nationalists and the Worldwide Anti-colonial Movement, 1917-1931."

Buku ini memotret dengan detail bagaimana para pendiri bangsa kita—Hatta, Sjahrir, dan para pemuda di Perhimpunan Indonesia—beraksi di Eropa. Setelah Sumpah Pemuda menggembleng identitas nasional, mereka tidak pulang kampung untuk angkat senjata.

Senjata mereka adalah pena. Amunisi mereka adalah gagasan. Medan perang mereka adalah ruang-ruang diplomasi, media-media internasional, dan forum-forum anti kolonial di Berlin, Paris, dan Den Haag.

Mereka "menjemput" kemerdekaan. Mereka membuktikan kepada dunia bahwa "Indonesia" bukan hanya entitas emosional, tetapi juga entitas intelektual yang layak dan mampu berdiri sendiri serta sejajar di antara negara bangsa yang lebih dulu hadir.

Ini adalah kepingan puzzle yang hilang, semangat perjuangan yang menguap diantara segala perkembangan teknologi dan arus cepat globalisasi.

Para Pemuda Sumatera Utara hari ini tidak sedang melawan kolonialisme Belanda. Musuh kita lebih abstrak: ia adalah ketimpangan, risiko bonus demografi yang gagal terkelola, dan stagnasi kualitas SDM.

Untuk menjawab tantangan tersebut kita mesti berhenti menjadi penonton eksploitasi SDA, dan mulai menjadi perumus kebijakan hilirisasi yang berpihak pada SDM lokal. Kita punya kapasitas untuk memaksimalkan segala potensi yang ada apabila kita tidak hanya ber retorika tentang IPM, tetapi turun mengadvokasi dan menciptakan inovasi (mungkin startup pendidikan atau kesehatan) untuk menjangkau daerah-daerah terpencil di Sumatera Utara.

Kita tidak harus berjuang di eropa sebagaimana yang dilakukan para pemuda kita sebelum akhirnya menggaungkan Sumpah Pemuda.

Tetapi kita bisa mengambil intisari penting bahwa dunia intelektual adalah kunci melahirkan perubahan. Kita dapat memaksimalkan semangat tersebut di dunia riset, di panggung-panggung nasional, dan di ruang-ruang digital dalam rangka membuktikan bahwa gagasan pemuda Sumatera Utara adalah solusi bagi kemajuan bangsa.

Sumpah Pemuda 1928 memberi kita identitas. Perjuangan intelektual 1930-an di Eropa memberi kita martabat. Catatan-catatan sejarah tersebut mesti menjadi bahan bakar untuk kita terus memberikan abdi dan bakti terbaik pada bangsa.

Kini, saatnya pemuda Sumatera Utara bersatu dalam gagasan, menempuh kembali jalan sunyi perjuangan intelektual itu. Bukan untuk merebut kemerdekaan politik, tetapi untuk kembali mengingat bahwa bangsa ini lahir dari rahim pemuda, dan selamanya pemuda akan menjadi tulang punggung keberlangsungan bangsa Indonesia yang sama-sama kita cintai.

* Penulis adalah Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara (Sumut) / Ketua Garda Pemuda NasDem Sumut

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN