Rangkap Jabatan Wamen Komisaris BUMN Digugat, Presiden Prabowo Dikritik

Rangkap jabatan Wamen, Komisaris BUMN yang dilakukan Presiden Prabowo didugat (Foto: Istimewa/Mistar)
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Belum genap setahun menjabat, Presiden Prabowo Subianto menghadapi sorotan tajam terkait praktik rangkap jabatan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Transparency International (TI) Indonesia menilai penunjukan komisaris di lingkungan BUMN cenderung menjadi ajang bagi-bagi jabatan politik ketimbang upaya memperkuat tata kelola perusahaan negara.
Fenomena ini mengingatkan pada temuan Ombudsman RI pada 2019 yang mencatat 397 kasus rangkap jabatan di BUMN, mayoritas ditempatkan di anak perusahaan yang merugi. Setelah lima tahun, praktik serupa kembali terjadi, kali ini melibatkan jajaran Wakil Menteri (Wamen) dalam kabinet Prabowo.
Data terbaru menunjukkan 33 Wakil Menteri dan 1 Wakil Kepala Kantor Komunikasi Presiden (PCO) merangkap sebagai komisaris di berbagai BUMN dan anak usahanya. Pertamina dan Telkom menjadi perusahaan dengan jumlah Wamen terbanyak sebagai komisaris, masing-masing enam orang. PLN, Pupuk Indonesia, Garuda Indonesia, hingga bank-bank pelat merah juga tidak luput dari fenomena serupa.
TI Indonesia mengkritisi penempatan pejabat publik yang tidak memiliki relevansi dengan sektor bisnis BUMN yang diawasi. “Fenomena komisaris dari jalur politik menjadi kesalahan berulang. Pengawasan strategis akan lumpuh karena adanya konflik kepentingan,” ungkap Asri Widayati, Peneliti Economic Governance TI Indonesia.
Situasi ini memicu gugatan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Aktivis hukum A. Fahrur Rozi dan pendiri Pinter Hukum Ilhan Fariduz Zaman menggugat Pasal 23 UU Kementerian Negara serta Pasal 27B dan 56B UU BUMN. Mereka menilai tidak adanya larangan eksplisit bagi Wamen merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengawas di BUMN menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dalam sidang perdana (31/7/2025), Fahrur Rozi menyebut sedikitnya ada 30 Wamen merangkap jabatan di BUMN. Pemohon meminta MK menambahkan frasa “wakil menteri” dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara dan menyamakan aturan larangan rangkap jabatan dewan komisaris serta pengawas dengan direksi BUMN.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan nasihat agar pemohon memperkuat argumentasi konstitusional dan menambahkan perbandingan praktik serupa di negara lain.
Padahal, dalam visi Asta Cita, Presiden Prabowo berjanji menguatkan manajemen BUMN yang profesional dan bebas dari politik praktis. Namun, gelombang rangkap jabatan ini justru dinilai melemahkan upaya reformasi tata kelola perusahaan negara serta berpotensi meningkatkan risiko konflik kepentingan dan korupsi.(*)