Pakar UGM: Jangan Bebankan Siswa Deteksi Makanan MBG yang Tidak Layak Konsumsi

Ilustrasi menu MBG. (foto: Antara)
Yogyakarta, MISTAR.ID
Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Sri Raharjo, menegaskan tanggung jawab untuk mendeteksi kelayakan konsumsi makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak semestinya dibebankan kepada siswa sebagai penerima manfaat.
Menurutnya, kemampuan siswa dalam mengenali makanan yang berbahaya hanya terbatas pada pancaindra seperti penciuman dan penglihatan. Padahal, tidak semua makanan yang sudah tidak aman menunjukkan tanda-tanda pembusukan secara kasat mata.
“Masalah keamanan pangan tidak selalu disertai dengan tanda visual seperti bau busuk. Bisa jadi makanan terlihat dan tercium normal, namun mengandung patogen berbahaya,” ujar Sri dikutip dari laman resmi UGM, Kamis (9/10/2025).
Ia menjelaskan, bakteri penyebab keracunan makanan, atau patogen, bisa saja hadir dalam jumlah kecil namun sudah cukup untuk menimbulkan penyakit. Sebaliknya, ada juga bakteri pembusuk yang meski membuat makanan berbau tidak sedap, justru mudah dimatikan dengan pemanasan dan tidak menyebabkan sakit.
“Reaksi keracunan pun berbeda-beda, tidak selalu muncul langsung atau dalam bentuk muntah. Bisa muncul beberapa waktu setelah konsumsi,” katanya.
Sri yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap seluruh proses pengolahan, penyimpanan, hingga distribusi makanan MBG. Ia menyoroti perlunya penelusuran sumber makanan dalam satu tray untuk mengidentifikasi komponen mana yang mungkin menjadi penyebab keracunan.
“Dalam satu tray makanan yang terdiri dari nasi, lauk, dan sayur, harus ditelusuri secara detail, mana yang kemungkinan besar menyebabkan masalah. Dan ini perlu dilihat dari proses penyiapannya juga,” ucapnya.
Ia menambahkan, lauk pauk menjadi salah satu komponen yang paling rentan jika tidak diolah secara tepat. Pengolahan yang kurang matang atau bahan baku yang tidak segar dapat meningkatkan risiko kontaminasi bakteri.
“Pemanasan yang cukup dan penggunaan bahan mentah yang bersih menjadi kunci penting untuk mencegah kontaminasi,” tuturnya.
Sri juga mengkritisi kapasitas produksi makanan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), yang menurutnya kerap melebihi batas kemampuan dapur yang tersedia. Target produksi hingga 3.000 porsi per hari dinilai terlalu tinggi jika tidak dibarengi dengan dukungan SDM, alat, dan sistem kontrol mutu yang memadai.
“Kontrol terhadap kualitas makanan bisa tidak maksimal jika kapasitas dapur melebihi kemampuan sebenarnya. Hal ini berisiko besar terhadap keamanan pangan,” ujarnya.
Ia pun mendorong evaluasi ulang terhadap sistem penyediaan makanan MBG agar kesehatan siswa tetap terjamin dan tidak menimbulkan risiko baru dari program yang sejatinya bertujuan baik.