Wednesday, October 1, 2025
home_banner_first
NASIONAL

ICW: Potensi Kerugian Negara Akibat Korupsi 2024 Capai Rp279,9 Triliun

Rabu, 1 Oktober 2025 08.29
icw_potensi_kerugian_negara_akibat_korupsi_2024_capai_rp2799_triliun

Ilustrasi. (Foto: Maulana Pamuji Gusti/Harian Disway)

news_banner

Jakarta, MISTAR.ID

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat potensi kerugian negara akibat kasus korupsi sepanjang 2024 mencapai Rp279,9 triliun. Angka fantastis ini sebagian besar disumbang oleh dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di PT Timah Tbk, yang menyumbang sekitar 96,8 persen dari total kerugian tersebut. Kasus besar ini saat ini ditangani oleh Kejaksaan Agung.

Peneliti ICW, Zararah Azhim Syah, dalam konferensi pers bertajuk Tren Penindakan Kasus Korupsi 2024 di Rumah Resonansi ICW, Jakarta, Selasa (30/9/2025), menegaskan bahwa besarnya potensi kerugian itu tidak sebanding dengan jumlah dana yang berhasil dikembalikan ke kas negara.

“Dari total potensi kerugian Rp279,9 triliun, pemerintah hanya mampu mengumpulkan Rp28,5 miliar untuk pemulihan kerugian negara pada 2024,” kata Azhim, dilansir dari CNN Indonesia.

Jumlah ini, lanjutnya, bukan hanya berasal dari kasus yang terjadi di 2024 saja, tetapi juga akumulasi dari tindak pidana korupsi tahun-tahun sebelumnya.

ICW mencatat, pendapatan negara dari penyelesaian ganti rugi justru turun dibanding tahun lalu. Pada 2023, nilainya mencapai Rp41,3 miliar, sementara pada 2024 hanya Rp28,5 miliar, atau berkurang sekitar Rp12,8 miliar (30,9 persen).

Azhim menilai kecilnya jumlah pemulihan kerugian negara salah satunya disebabkan masih jarangnya aparat penegak hukum menggunakan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) maupun Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terkait pengenaan uang pengganti.

Selama 2024, dari total 364 kasus korupsi, hanya 48 perkara yang menggunakan Pasal 18 UU Tipikor, dan hanya 5 kasus yang melibatkan instrumen Pasal TPPU. Salah satu di antaranya adalah kasus pengadaan buku yang menyeret Fahrur Rozi, mantan Kajari Buleleng, yang diduga menerima Rp46 miliar hasil korupsi dan dijerat Pasal 3 UU TPPU.

ICW juga mencatat tidak ada aparat hukum yang menggunakan pasal mengenai gratifikasi maupun konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa.

“Minimnya penerapan pasal-pasal ini menunjukkan bahwa kapasitas aparat penegak hukum masih menjadi kendala serius dalam pemberantasan korupsi,” ujar Azhim.

Ia menekankan pentingnya peningkatan kerja sama dengan PPATK untuk menelusuri aliran dana hasil korupsi melalui mekanisme follow the money.

Metodologi Pengumpulan Data

Laporan ICW tersebut disusun dengan mengompilasi kasus-kasus korupsi yang sudah masuk tahap penyidikan dan sudah ada penetapan tersangka. Informasi yang dihimpun meliputi deskripsi kasus, identitas tersangka (nama atau inisial), jabatan atau profesi, serta estimasi kerugian negara, nilai suap, pungli, maupun aset yang diduga dicuci.

Data utama bersumber dari publikasi resmi Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang kemudian dilengkapi pemberitaan media nasional dan lokal. ICW menegaskan hanya menggunakan media yang memiliki kredibilitas, berbadan hukum, dan mematuhi prinsip jurnalisme.

Untuk menjaga akurasi, setiap kasus diverifikasi minimal melalui tiga sumber berita daring yang berbeda.

Kasus yang dicatat adalah perkara yang naik ke tahap penyidikan pada 1 Januari hingga 31 Desember 2024. Proses tabulasi dilakukan antara 30 Januari hingga 25 September 2025. Jika suatu perkara sudah masuk penyidikan namun belum ada penetapan tersangka, maka kasus tersebut tidak disertakan.

Azhim menambahkan, sebagian besar informasi diperoleh dari pemberitaan media daring karena situs resmi aparat hukum, khususnya di tingkat daerah, sering kali kurang lengkap atau sulit diakses.[]

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN