Pengamat: Pemilihan Ketua Golkar Sumut Hanya Formalitas, Dikendalikan Pusat

Pengamat Politik Sumut, Shohibul Anshor Siregar menyebut pemilihan Ketua Golkar Sumut formalitas (f:ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Menjelang pemilihan Ketua DPD I Partai Golkar Sumatera Utara (Sumut), tensi politik internal partai beringin mulai memanas. Namun, pengamat politik Sumut, Shohibul Anshor Siregar, menilai proses itu hanya akan menjadi formalitas belaka, karena keputusan akhir tetap berada di tangan elite pusat.
Shohibul yang juga dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) menilai bahwa perhitungan kekuatan calon tidak berarti banyak, karena prosesnya tidak tunduk pada demokrasi internal.
"Percuma menghitung kekuatan para calon Ketua Golkar Sumut dalam kaitan memenangi pemilihan. Tak ada risiko besar jika figur yang paling favourable dan paling berjejak sukses dikalahkan oleh figur yang berkelas jauh di bawah," katanya, Selasa (24/6/2025).
Ia bahkan menyebut bahwa figur lokal yang berpengaruh bisa saja disingkirkan jika tidak sejalan dengan kepentingan elite nasional.
Shohibul mencontohkan bagaimana DPP Golkar kerap mengambil kebijakan yang bertentangan dengan aspirasi kader di daerah.
"Lihat pengalaman penggantian Airlangga Hartarto yang begitu tragis. Lihat Ijeck yang sangat siap maju Pilgubsu 2024. Semua diterpa kepentingan pusat yang memusuhi aspirasi kader dan daerah," ungkapnya.
Menurutnya, pola politik yang berlangsung di tubuh partai-partai besar seperti Golkar lebih diwarnai oleh relasi kuasa yang bercorak patrimonial dan oligarkis, bukan berdasarkan nilai-nilai demokrasi atau meritokrasi.
"Ini bukan hanya soal Golkar Sumut. Ini budaya politik nasional. Bahkan partai yang kelihatannya demokratis pun tak lepas dari kontrol elite pusat. Aspirasi lokal selalu subordinat," lanjutnya.
Shohibul mengurai lebih dalam dengan menyebut teori-teori seperti neo-patrimonialisme, clientelism, dan oligarki elektoral untuk menjelaskan kondisi tersebut. Ia juga merujuk pemikiran akademisi seperti Edward Aspinall, Jeffrey Winters, dan Max Weber sebagai dasar analisisnya.
"Dalam sistem seperti ini, prestasi, kapasitas, atau elektabilitas figur lokal seperti Ijeck bisa jadi tidak relevan. Yang relevan hanya satu, apakah dia bagian dari jejaring patronase pusat atau tidak. Kalau tidak, jangan harap diberi jalan," tegasnya.
Lebih jauh, ia menyebut bahwa selama struktur politik nasional masih dikendalikan segelintir elite dengan kepentingan tersentralisasi, proses pemilihan di tingkat daerah hanyalah proses simbolik.
"Ini gejala lama, tapi makin kuat setelah reformasi. Kita menyaksikan sentralisme dalam wajah demokrasi," ucapnya.
Shohibul pun mengajak para kader dan masyarakat untuk lebih kritis terhadap praktik oligarki di dalam tubuh partai politik.
"Jika kader tidak melawan budaya oligarki ini dari dalam partai, maka jangan berharap ada pembaruan. Perubahan hanya mungkin jika tekanan datang dari dalam dan dari bawah secara bersamaan," katanya. (ari/hm17)
PREVIOUS ARTICLE
Bobby Nasution Tanggapi Usulan Pemekaran OPD di Pemprov Sumut