Pengamat: Pemangkasan TKD Tekan Daerah, Kontradiktif dengan Tunjangan DPR

Pengamat anggaran dan kebijakan publik, Elfenda Ananda. (foto: susan/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Pengamat anggaran dan kebijakan publik, Elfenda Ananda, menilai pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar 30 persen merupakan dampak dari tekanan ekonomi global serta keterbatasan pendapatan negara.
“Di awal tahun 2025 kita mendapat sebuah kebijakan Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 1 soal efisiensi anggaran. Berawal dari soal ekonomi, kemudian tekanan fiskal dari luar, hingga situasi global yang membuat ekonomi kita mengalami tekanan begitu kuat,” kata Elfenda dalam Podcast Mistar program Mo Tau Aja, Sabtu (23/8/2025).
Ia menyebut pemangkasan TKD ini akan mulai terasa pada perubahan APBD 2025. Banyak kabupaten/kota, khususnya yang bergantung pada dana transfer, akan menghadapi tekanan serius.
Menurutnya, kondisi ini dipicu postur belanja pemerintah pusat yang semakin besar.
“Menteri semakin banyak, ada wakil menteri, yang membuat beban belanja kian membesar. Sementara tidak ada penambahan pendapatan yang signifikan,” ujarnya.
Efisiensi Kontradiktif dengan Tunjangan DPR
Elfenda menilai kebijakan efisiensi pemerintah pusat kontradiktif dengan kenaikan tunjangan DPR RI. Perjalanan dinas dipangkas 50 persen, belanja seremonial dihapus, namun di sisi lain tunjangan DPR justru meningkat.
“Ini yang membuat kelihatannya tidak bijak. Kebijakan efisiensi bertolak belakang dengan kenyataan politik anggaran kita,” tuturnya.
Ia juga menyoroti ketergantungan tinggi daerah terhadap dana transfer. Dari catatannya, hanya Kota Medan yang masuk kategori fiskal tinggi di Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
“Kabupaten Deli Serdang memang mendekati, tapi Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya masih di bawah 50 persen. Sementara daerah lain bahkan ada yang hanya 1 persen, seperti Nias. Jika transfer dipangkas, konsekuensinya jelas akan memukul belanja daerah,” kata Elfenda.
Utang Negara Tembus Rp 1.000 Triliun
Elfenda menyebut situasi ini semakin parah dengan beban utang negara yang melonjak drastis.
“Awalnya utang kita masih sekitar Rp300 sampai Rp500 triliun. Sekarang sudah hampir Rp1.000 triliun. Bayangkan berapa banyak yang harus kita bayar untuk bunga dan pokok utang setiap tahun,” ucapnya.
Lonjakan utang tersebut, lanjut Elfenda, ditambah dengan konsekuensi politik dari program dan janji pemerintah, seperti makanan bergizi gratis dan koperasi merah putih, sementara pendapatan negara tidak bertambah signifikan.
Ia juga menilai pemangkasan perjalanan dinas hingga 50 persen berdampak negatif pada perekonomian daerah.
“Kalau perjalanan dinas berkurang, pendapatan pajak hotel dan restoran ikut turun. Belanja kertas dan kebutuhan lain juga berkurang. Padahal, belanja pemerintah seharusnya menjadi stimulus bagi ekonomi daerah,” ucap Elfenda.
Menurutnya, kondisi ini akan memperparah tekanan fiskal di daerah yang hanya bergantung pada pendapatan kecil, seperti PBB atau pajak penerangan jalan. Jika dinaikkan, justru beban rakyat yang bertambah. (susan/hm16)