Saturday, August 23, 2025
home_banner_first
MEDAN

Fenomena Kompensasi Rumah Dinas DPR, Pengamat: Krisis Keadilan Sosial dan Legitimasi

journalist-avatar-top
Sabtu, 23 Agustus 2025 14.24
fenomena_kompensasi_rumah_dinas_dpr_pengamat_krisis_keadilan_sosial_dan_legitimasi

Pengamat Politik Sumut, Shohibul Anshor Siregar. (Foto: Istimewa/Mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Pengamat politik Sumatera Utara (Sumut), Shohibul Anshor Siregar, menilai fenomena pemberian kompensasi rumah dinas kepada anggota DPR dan potensi kenaikan gaji anggota legislatif memunculkan kritik luas khususnya pada krisis keadilan sosial dan legitimasi.

Menurutnya, wacana kesejahteraan di DPR menimbulkan paradoks. Pasalnya, wakil rakyat seolah lebih cenderung fokus pada hak pribadi, daripada tanggung jawab kolektif. Bahkan, ia juga menyinggung berdasarkan hasil penelitian Badan Pusat Statistik (BPS).

“Saya menilai fenomena ini merupakan kontradiksi moral dan sosial, di tengah angka kemiskinan yang masih signifikan, pada tahun 2024, BPS mencatat 9,03 persen penduduk miskin atau kurang lebih 25 juta jiwa serta ketimpangan pendapatan gizi Ratio 0,388,” ujarnya pada Mistar, Sabtu (23/8/2025).

Tidak hanya itu, ia menyoroti terkait problem data kemiskinan. Mengingat, metodologi BPS kerap dipertanyakan karena menggunakan garis kemiskinan berbasis pengeluaran minimal.

“Akibatnya, jumlah orang miskin terlihat kecil secara statistik. Konsep ini dapat disebut ‘kolonialistik’ karena menutupi realitas sosial demi stabilitas angka,” kata Shohibul.

Akademisi FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) tersebut mengatakan, terkait perspektif konstitusi, pasal 27 ayat (2) UUD 1945, menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

“Namun, negara masih gagal menyediakan lapangan kerja. DPR, sebagai pembentuk undang-undang, seharusnya menuntut pemerintah khususnya, Presiden Prabowo untuk menjadikan penyediaan pekerjaan sebagai prioritas mutlak,” ujarnya.

Bahkan, sambung Shohibul, krisis legitimasi politik juga kerap menuai sorotan. Ia menilai, fenomena kenaikan fasilitas DPR berpotensi menurunkan legitimasi politik.

“Teori political trust dari Hetherington, 2005 yang menekankan bahwa kepercayaan publik adalah modal utama demokrasi. Jika publik merasa diabaikan, jurang antara rakyat dan wakilnya semakin lebar,” katanya.

Ia mengatakan hal tersebut berkaitan pada implikasi bagi Indonesia Emas 2045. Sebab, ia menilai Visi 2045 mustahil tercapai jika fondasi sosial rapuh dengan adanya fenomena tersebut.

“Angka kemiskinan yang disamarkan, ketimpangan yang dibiarkan, dan elite yang sibuk mengurus kompensasi hanya akan melahirkan phantom prosperity atau kemajuan semu yang tidak dirasakan rakyat,” tuturnya.

Ia menilai fenomena yang menuai sorotan publik terkait adanya kompensasi rumah dinas DPR dan wacana kenaikan gaji legislatif adalah gejala dari krisis keadilan sosial dan legitimasi.

“Jalan keluarnya bukan sekadar menunda kebijakan tersebut, melainkan merekonstruksi ulang orientasi pembangunan. Mulai dari elite centered menjadi people centered atau berpusat pada khalayak,” ucapnya. (Ari/hm18)

REPORTER: