Tuesday, July 29, 2025
home_banner_first
MEDAN

Kasus Pembunuhan dalam Rumah Tangga, Psikolog: Menyisakan Trauma Berat pada Anak

journalist-avatar-top
Selasa, 29 Juli 2025 14.51
kasus_pembunuhan_dalam_rumah_tangga_psikolog_menyisakan_trauma_berat_pada_anak_

Ilustrasi: (Foto: iStock/rudi_suardi)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Maraknya kasus pembunuhan dalam rumah tangga, baik yang dilakukan suami terhadap istri maupun sebaliknya, hingga berujung bunuh diri, tak hanya meninggalkan luka mendalam bagi keluarga, tapi juga menyisakan trauma berat bagi anak-anak yang ditinggalkan.

Psikolog anak dan remaja dari Pedia Clinic Cemara Asri Medan, Katherina, menyebut dampak psikologis terhadap anak sangat besar, terutama jika menyaksikan atau mengetahui tragedi itu. “Apapun penyebabnya, pasti akan berdampak pada perkembangan psikologis anak jika pasangan yang terlibat memiliki anak,” kata Katherina, Selasa (29/7/2025).

Ia menjabarkan pemicu utama tragedi dalam rumah tangga kerap bersumber dari kondisi psikologis yang tidak stabil, contohnya depresi, gangguan kepribadian, kecanduan alkohol, judi atau obat-obatan.

Ada juga karena faktor situasional seperti konflik pada pasangan, misalnya masalah ekonomi, kecemburuan, adanya perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar atau minimnya support system di lingkungan keluarga itu sendiri.

“Apapun alasan yang menyebabkan peristiwa pembunuhan tersebut, tentunya akan memiliki dampak terhadap perkembangan psikologis anak apabila pasangan suami istri tersebut telah memiliki anak,” ucapnya kepada Mistar, Selasa (29/7/2025).

Dampak yang Dirasakan Anak

Dalam teori psikososial Erikson, sebut Katherina, fase awal kehidupan anak yakni fase trust vs mistrust, sangat dipengaruhi oleh rasa aman dari lingkungan terdekat. Jika lingkungan ini justru menimbulkan ancaman, maka anak berisiko mengembangkan kecemasan, rasa tidak percaya, dan trauma mendalam.

“Gejala umum yang terjadi jika anak merasa trauma yakni menunjukkan kecemasan atau ketakutan yang berlebih, mengalami mimpi buruk atau terjadi kemunduran perkembangan (regresi) misalnya jadi ngompol tiap malam, menggigit kuku dan sebagainya,” kata alumni Universitas Sumatera Utara itu.

Sementara, anak yang lebih besar justru kerap menyalahkan diri sendiri atas tragedi tersebut, merasa bersalah, bahkan mengembangkan rasa benci atau frustasi karena dikhianati oleh sosok yang selama ini mereka sayangi.

“Hal ini juga dapat menghambat kemampuan sosialisasi mereka, misalnya anak menjadi tidak percaya pada orang sekitarnya. Adapun terkadang malah anak menjadi dikucilkan oleh lingkungan dan sering menjadi korban perundungan di sekolah,” tuturnya.

Penanganan yang Dapat Dilakukan

Jika tidak ditangani dengan serius, anak-anak korban bisa mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Oleh karena itu, penanganan psikolog atau tenaga profesional menjadi langkah penting.

“Biasanya akan ada beberapa intervensi yang disarankan ahli profesional atau psikolog anak, misalnya melakukan art therapy, play therapy, cognitive behavior therapy, dan lainnya, sesuai dengan kebutuhan anak tersebut,” kata Katherina.

Selain dukungan profesional, Katherina menekankan pentingnya peran keluarga dan lingkungan sekitar. Anggota keluarga seperti kakek dan nenek atau kerabat dekat dibutuhkan untuk memberikan rasa aman, dan dukungan emosional.

Anggota keluarga dapat menjelaskan kejadian dengan jujur jika ditanya. Namun penyampaiannya dapat disesuaikan dengan bahasa yang sesuai dengan usia anak agar tidak membingungkan.

Anak yang ketakutan dan mengalami stress biasanya akan mengalami perubahan perilaku seperti menjadi pendiam dan melamun.

“Anggota keluarga dapat memberi ruang kepada anak untuk mengungkapkan emosi mereka dan memvalidasi emosi mereka. Misalnya mengatakan ‘iya, saya paham kamu merasa sedih, kamu merasa takut’, agar anak memahami kalau perasaan yang mereka alami saat ini wajar,” ucapnya.

Di sisi lain, lingkungan seperti tetangga dan sekolah juga harus bersikap bijak. Anak-anak korban kerap menjadi bahan gosip atau malah dikucilkan sehingga anak merasa semakin cemas, takut dan frustasi.

Bahkan, tak jarang lingkungan malah menyalahkan dan mengejek jika anak korban berperilaku tidak benar misalnya dengan kalimat ‘nakal sekali kamu, sama kamu dengan bapak mu’.

“Lingkungan yang tepat seharusnya tidak menghakimi perbuatan orang tua di depan anak, menjaga mulut untuk memberikan cibiran atau gosip,” kafa Katherina menegaskan.

Ia menekankan warga sekitar seharusnya dapat memberikan empati dan dukungan sehingga anak tetap memiliki rasa aman dengan lingkungan mereka.

“Yang paling penting adalah menciptakan kembali rasa percaya dan rasa aman kembali pada diri anak korban, sehingga ia dapat perlahan kembali menerima keadaan yang terjadi dan menjadi pribadi yang resilien (mampu menghadapi tantangan hidup),” ucapnya. (susan/hm25)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN