Wednesday, June 11, 2025
home_banner_first
KESEHATAN

Penolakan Pasien BPJS Marak, Ombudsman RI: Bentuk Telanjang Maldministrasi

journalist-avatar-top
Selasa, 10 Juni 2025 14.50
penolakan_pasien_bpjs_marak_ombudsman_ri_bentuk_telanjang_maldministrasi

Ombudsman RI Sumut saat lakukan sidak ke RS. (f: ist/mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Maraknya penolakan dan pemulangan paksa pasien BPJS Kesehatan oleh rumah sakit (RS) menjadi sorotan tajam Ombudsman Republik Indonesia (RI).

Pimpinan Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, menilai kasus-kasus tersebut bukan kejadian biasa. Melainkan puncak gunung es dari persoalan sistemik dalam pelayanan jaminan kesehatan nasional.

“Menolak atau memulangkan pasien yang masih membutuhkan pertolongan medis merupakan bentuk telanjang maladministrasi pelayanan kesehatan,” katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (10/6/2025).

Menurutnya, banyak RS melanggar ketentuan hukum dengan menolak pasien dalam kondisi gawat darurat, padahal hal itu jelas dilarang dalam Pasal 174 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023.

Pihaknya telah menerima banyak aduan terkait penundaan pelayanan gawat darurat, keterlambatan rawat inap, hingga diskriminasi terhadap pasien BPJS.

Lebih lanjut, Robert menegaskan, keselamatan pasien harus menjadi hukum tertinggi dalam pelayanan publik. Paradigma kerja seluruh pemangku kebijakan baik pemerintah pusat, daerah, BPJS, hingga puskesmas atau RS, harus berpihak pada nasib publik.

Sebagai langkah perbaikan, Robert memaparkan empat poin penting. Di antaranya adalah penegakan hukum terhadap RS bermasalah. Pemerintah pusat/pemda diminta bertindak tegas dengan menjatuhkan sanksi administratif kepada RS yang terbukti menolak atau memulangkan pasien secara paksa.

Ia menyoroti kekeliruan umum di rumah sakit yang beranggapan pasien bisa dipulangkan karena kuota hari perawatan habis. Dalam Permenkes Nomor 47 Tahun 2018, tidak ada dalil semacam itu.

“Pasien kategori triase hijau pun harus dalam kondisi yang sudah tak memerlukan perawatan, baru diperbolehkan pulang,” ungkapnya.

Selanjutnya, adanya edukasi dari BPJS kepada RS mitra. Pelayanan gawat darurat dijamin dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Robert menilai banyak rumah sakit menolak pasien dengan alasan pelayanan tidak dicover BPJS atau karena proses klaim yang berlarut.

Padahal, Perpres Nomor 82 Tahun 2018 secara tegas menetapkan bahwa kondisi gawat darurat ditentukan oleh tenaga medis, dan biaya penanganannya ditanggung penuh oleh BPJS.

Kemudian pemda diminta menindak tegas sumber daya manusia kesehatan (SDMK) yang lalai dalam menangani pasien gawat darurat. Robert menekankan pentingnya audit berkala, inspeksi mendadak, dan monitoring kepuasan pasien. “Kualitas SDMK menjadi penentu kondisi kesehatan pasien,” tuturnya.

Terakhir, evaluasi akreditasi RS. Komite Akreditasi Rumah Sakit diminta mempertimbangkan catatan buruk rumah sakit dalam memberikan pelayanan saat menilai akreditasi.

“Rumah Sakit dengan rekam jejak menolak atau memulangkan pasien harus memperbaiki kualitas pelayanan baru bisa meningkatkan akreditasi,” ujar Robert.

Kasus terbaru di Padang, di mana pasien meninggal setelah ditolak rumah sakit. Kasus ini menjadi contoh nyata dari kegagalan sistem. Menurut Robert, insiden serupa tidak boleh dianggap remeh atau dibiarkan terulang.

Ombudsman RI pun membuka pintu seluas-luasnya bagi masyarakat yang ingin melaporkan dugaan maladministrasi pelayanan kesehatan melalui kanal resmi yang tersedia di tingkat pusat maupun perwakilan di 34 provinsi.

Sementara itu, Kepala ORI Perwakilan Sumut, Herdensi memastikan selalu mengawasi RS agar beberapa poin perbaikan di atas dapat diterapkan.

“Kami akan melakukan pengawasan lebih lanjut terkait peningkatan kualitas pepelayanan,” katanya saat dikonfirmasi Mistar melalui pesan seluler. (susan/hm20)

REPORTER: