Plh Kasi Penkum Kejati Sumut Bungkam, Dr. Rotua Desak Jaksa Tetty Sitohang Ditindak

Mediator non-hakim, Dr. drh. Rotua Wendeilyna Simarmata, M.Si., C.Med. (foto:istimewa/mistar)
Samosir, MISTAR.ID
Kasus dugaan pemberian uang sebesar Rp20 juta kepada jaksa Tetty Sitohang di Kejaksaan Negeri (Kejari) Samosir kini menjadi sorotan publik.
Kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang menyebut dua jaksa, yakni Tetty Boru Sitohang, S.H., M.H. dan Boru Ginting, menerima uang dari Suriani Sitanggang, istri terpidana Poltak Situmorang, dalam perkara narkotika yang ditangani Kejari Samosir.
Uang tersebut disebut diserahkan pada 18 Juli 2025 di ruang kerja Kasi Pidana Umum (Pidum) Kejari Samosir dengan alasan sebagai “koordinasi putusan dengan majelis hakim”.
Laporan pengaduan kemudian diajukan oleh Poltak pada 1 Agustus 2025, dan diterima secara resmi oleh Bidang Pengawasan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara (Sumut) pada 28 Agustus 2025.
Informasi yang dihimpun Mistar menyebutkan, pemberian uang itu terjadi saat proses persidangan masih berlangsung. Beberapa pekan kemudian, Poltak dijatuhi vonis lima tahun penjara dan denda Rp800 juta karena terbukti menanam satu batang ganja. Ia kini menjalani hukuman di Lapas Pangururan.
Terkait hal tersebut, Dr. drh. Rotua Wendeilyna Simarmata, M.Si., C.Med., seorang mediator non-hakim yang aktif dalam advokasi sosial dan penegakan etik di sejumlah pengadilan di Sumut dipanggil oleh Kejati Sumut untuk memberikan klarifikasi.
Pemanggilan tersebut berdasarkan surat resmi bernomor B-6172/L.2.7/H.1.2/09/2025 tertanggal 11 September 2025 yang ditandatangani oleh Asisten Pengawasan Kejati Sumut, Dr. Darmukit, S.H., M.H.
Dalam surat itu, Rotua diminta hadir di Kantor Kejati Sumut, Jalan A.H. Nasution No. 1C, Kota Medan, pada Jumat, 12 September 2025, sekitar pukul 10.00 WIB untuk dimintai keterangan.
“Saya dipanggil untuk memberikan klarifikasi. Mereka menanyakan apa yang saya ketahui tentang pemberian uang itu, dan saya sudah menjelaskan sesuai fakta,” ujar Rotua kepada Mistar, Jumat (10/10/2025).
Rotua menjelaskan, pemeriksaan dilakukan oleh tim pengawas internal yang terdiri atas Rizaldi, S.H., M.H., Syahrul Efendi Harahap, S.H., M.H., Naupal, S.H., dan Lila Rachfina, S.H.. Tim tersebut bertugas menelusuri dugaan pemberian uang Rp20 juta yang menyeret dua jaksa tersebut.
Sebagai mediator non-hakim, Rotua menegaskan kehadirannya bukan karena keterlibatan pribadi, melainkan untuk membantu menjernihkan persoalan. “Saya tidak punya urusan dengan uang atau komunikasi terkait putusan hakim. Saya hadir hanya untuk memperjelas duduk perkara,” tegasnya.
Baca Juga: Sidang Tuntutan Kasus Korupsi APBDes Banjar Hulu Rp573 Juta Ditunda, Jaksa Belum Rampungkan Berkas
Lebih lanjut, Rotua menilai bahwa meskipun uang Rp20 juta itu disebut telah dikembalikan oleh Jaksa Tetty kepada keluarga terdakwa, hal tersebut tidak menghapus pelanggaran etik.
“Walaupun uang itu sudah dikembalikan, sanksi etik tetap harus diberikan kepada jaksa yang bersangkutan. Pengembalian uang tidak otomatis menghapus pelanggaran moral dan profesionalitas,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan agar kejaksaan bersikap transparan dalam menangani laporan masyarakat. “Kejaksaan itu panutan masyarakat. Kalau ada laporan seperti ini, mestinya ditangani secara terbuka agar kepercayaan publik tidak hilang,” tambah Rotua.
Rotua menegaskan, pemeriksaan oleh Bidang Pengawasan Kejati Sumut masih sebatas klarifikasi awal. “Yang saya lihat, mereka masih mengumpulkan keterangan dari beberapa pihak. Belum ada keputusan atau sanksi apa pun sejauh ini terhadap jaksa penerima uang itu,” ungkapnya.
Sementara itu, Plh Kasi Penkum Kejati Sumut, Husairi, yang dikonfirmasi wartawan Mistar melalui pesan WhatsApp, belum memberikan respons. Beberapa pertanyaan terkait status pemeriksaan dan tindak lanjut laporan dugaan pemberian uang Rp20 juta belum dijawab hingga berita ini diterbitkan.
Sikap bungkam Kejati Sumut ini menimbulkan tanda tanya publik mengenai sejauh mana proses penelusuran internal dilakukan terhadap dugaan praktik suap yang mencoreng nama lembaga penegak hukum tersebut.
Menurut Rotua, sikap diam pihak kejaksaan justru memperburuk persepsi publik terhadap lembaga penegak hukum.
“Diam bukan jawaban. Masyarakat menunggu sikap tegas, bukan pembiaran. Kalau penegak hukum sendiri enggan membuka kebenaran, bagaimana rakyat bisa percaya pada keadilan?” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa keadilan tidak boleh tunduk pada kepentingan institusi. “Kita harus berani menindak siapa pun yang mencederai integritas hukum. Kalau Kejati Sumut ingin dipercaya, tunjukkan dengan tindakan, bukan diam,” tegas Rotua.
Publik kini menantikan langkah nyata Kejati Sumut untuk menindaklanjuti laporan tersebut secara profesional dan terbuka. “Transparansi menjadi kunci menjaga marwah kejaksaan di tengah sorotan publik atas kasus yang menyeret aparatnya sendiri,” pungkas Rotua.
BERITA TERPOPULER









