Eksekusi Terpidana Penganiayaan di Pancur Batu Ricuh, Suami Protes Kejaksaan

Ilustrasi, Kericuhan saat Eksekusi Terpidana. (f:metaai/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) Deli Serdang di Pancur Batu mengeksekusi Yanty, terpidana kasus penganiayaan. Namun, proses eksekusi sempat diwarnai kericuhan akibat protes dari suami terpidana.
Hal itu dibenarkan Kepala Cabjari Pancur Batu, Yus Iman Mawardin Harefa, saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Kamis (5/6/2025).
"Benar, kami telah mengeksekusi terpidana pada Selasa (3/6/2025). Namun, prosesnya sempat ricuh karena suami terpidana menyampaikan protes keras," ujarnya.
Menurut Yus, suami Yanty merasa keberatan dan menyebutkan bahwa institusi kejaksaan tidak adil dan menerima imbalan untuk mengeksekusi istrinya. Sehingga, terjadilah kericuhan dalam proses eksekusi tersebut.
"Kami tegaskan bahwa kami menjalankan tugas sesuai prosedur dan aturan hukum. Kami sebelumnya telah memanggil terpidana secara patut sebanyak lima kali, akan tetapi tidak dipenuhi," ujarnya.
Karena terpidana tidak juga hadir, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tantra Perdana Sani sempat melakukan upaya jemput paksa pada Rabu (28/5/2025).
Namun, saat itu pihak keluarga memohon penundaan eksekusi dengan alasan Yanty sedang sakit, disertai surat pernyataan bahwa terpidana akan menyerahkan diri pada Selasa (3/6/2025).
"Namun, saat tiba di kantor [Cabjari Pancur Batu] untuk memenuhi janjinya, pihak keluarga [Yanty] malah membuat keributan dan mengucapkan kalimat negatif untuk instansi kejaksaan," kata Yus.
Saat ini, Yanty telah resmi dieksekusi dan ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tanjung Gusta Medan untuk menjalani hukuman penjara selama enam bulan.
Eksekusi ini dilaksanakan berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah), dengan nomor perkara 547 K/PID/2025.
Menanggapi isu yang beredar bahwa Yanty merupakan korban kriminalisasi, Yus menilai narasi tersebut adalah opini yang menyesatkan. Ia menegaskan bahwa seluruh proses hukum telah berjalan sesuai ketentuan yang berlaku.
“Permohonan terpidana dan penasihat hukumnya mengenai penangguhan penahanan dengan alasan kemanusiaan tak dapat dikabulkan, karena proses hukum sudah tuntas dan putusan sudah inkrah. Ini bukan lagi tahapan persidangan, melainkan pelaksanaan hukuman," tuturnya.
Sebagai informasi, kasus ini bermula dari laporan korban bernama Lili Kamso, yang menyebut telah mengalami penganiayaan oleh Yanty.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Pakam, Yanty awalnya divonis empat bulan penjara pada 25 Juli 2024, meskipun jaksa menuntut hukuman satu tahun.
Putusan tersebut kemudian diperberat oleh Pengadilan Tinggi (PT) Medan menjadi enam bulan penjara dalam proses banding, dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam tahap kasasi.
Selama proses hukum berlangsung, Yanty tidak ditahan karena mendapatkan penangguhan penahanan. Namun, setelah putusan kasasi inkrah, eksekusi wajib dilaksanakan. (deddy/hm27)