Friday, September 12, 2025
home_banner_first
EKONOMI

China Dihadapkan Dilema Ekonomi: Stimulus atau Risiko Gelembung Pasar Saham?

journalist-avatar-top
Jumat, 12 September 2025 15.08
china_dihadapkan_dilema_ekonomi_stimulus_atau_risiko_gelembung_pasar_saham

Seseorang berjalan melewati markas besar People's Bank of China, di Beijing, China. (foto:bloomberg/mistar)

news_banner

Pematangsiantar, MISTAR.ID

Ketika Federal Reserve Amerika Serikat diperkirakan akan memangkas suku bunga pada pertemuan 16-17 September mendatang, bank sentral Tiongkok (People's Bank of China/PBOC) diperkirakan justru akan berhati-hati dalam mengambil langkah serupa. Alasannya: menjaga keseimbangan antara mendorong pertumbuhan ekonomi dan menghindari potensi gelembung di pasar saham.

Ketidakpastian Kebijakan Moneter China

Sinyal penurunan suku bunga dari The Fed seharusnya memberikan ruang bagi PBOC untuk melakukan pelonggaran moneter tanpa risiko pelarian modal atau depresiasi yuan. Namun, menurut sumber kebijakan internal, PBOC kemungkinan akan menunggu indikator ekonomi yang lebih jelas sebelum merespons.

“Penurunan suku bunga Fed memang memberi ruang, tetapi bukan berarti kami harus langsung mengikutinya,” ujar seorang sumber kebijakan yang enggan disebutkan namanya, dikutip dari Reuters, Jumat (12/9/2025).

Risiko Gelembung Pasar Saham

Pasar saham China sedang menunjukkan aktivitas tinggi, didorong oleh investor institusional. Jika PBOC menurunkan suku bunga dalam kondisi ini, dikhawatirkan akan memicu spekulasi berlebihan seperti yang terjadi pada 2014–2015.

Ting Lu, Kepala Ekonom China di Nomura, menyatakan bahwa PBOC mungkin menunda pemangkasan suku bunga untuk mencegah terbentuknya gelembung aset. Namun, jika kondisi pasar mendukung, penurunan suku bunga sebesar 10 basis poin masih memungkinkan dalam beberapa pekan mendatang.

Langkah Stimulus Sebelumnya Sudah Ditempuh

Sejauh ini di tahun 2025, PBOC telah memangkas suku bunga repo terbalik 7 hari sebesar 10 basis poin, dan menurunkan rasio cadangan wajib (RRR) bank sebesar 50 basis poin.

Kedua kebijakan tersebut diumumkan pada bulan Mei sebagai bagian dari stimulus ekonomi yang lebih luas.

“Tidak melakukan stimulus berarti risiko perlambatan ekonomi makin besar. Tapi melakukan pelonggaran agresif juga berisiko memanaskan pasar saham,” kata Lu.

Data Ekonomi Masih Lemah

Laporan terbaru menunjukkan tekanan berat pada ekonomi Tiongkok dari sisi pertumbuhan output pabrik pada Juli mencapai titik terendah dalam 8 bulan, penjualan ritel menurun, dan kredit baru dalam yuan tercatat mengalami kontraksi pertama dalam dua dekade terakhir.

Sementara ekspor juga melemah di bulan Agustus akibat memudarnya dampak dari gencatan dagang dengan AS, sejumlah analis memproyeksikan kemungkinan hadirnya stimulus fiskal tambahan dan dukungan terhadap sektor properti.

Harapan Tumbuh dari Pasar Modal

Meski demikian, ada sisi positif. Kenaikan indeks saham diharapkan dapat memperbaiki neraca keuangan rumah tangga yang terdampak krisis properti, serta mendorong konsumsi masyarakat. Namun, banyak analis memperingatkan bahwa efek positif dari kenaikan harga saham terhadap konsumsi masih terbatas.

Saat ini, suku bunga kebijakan PBOC berada pada rekor terendah 1,4%, sementara RRR rata-rata telah menyusut ke 6,2% — level terendah sepanjang sejarah. Hal ini membuat ruang untuk stimulus tambahan menjadi sangat terbatas.

“Berbeda dengan AS, Tiongkok telah lama berada dalam siklus pelonggaran. Karena itu, ruang untuk stimulus tambahan tidak sebesar sebelumnya,” ujar seorang sumber kebijakan lain.

Dengan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua sebesar 5,2%, target tahunan pemerintah masih dalam jangkauan. Namun, ketidakpastian masih tinggi. Dalam beberapa bulan ke depan, Beijing harus menavigasi jalur sempit antara menstimulasi pertumbuhan dan mencegah ketidakstabilan pasar. (*)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN