Wednesday, August 13, 2025
home_banner_first
EDUKASI

Bahaya Media Sosial Bagi Anak: Jangan Buru-Buru Dewasa karena Dunia Maya

journalist-avatar-top
Senin, 23 Juni 2025 09.53
bahaya_media_sosial_bagi_anak_jangan_buruburu_dewasa_karena_dunia_maya

Media sosial memicu kecanduan dan merusak metal anak-anak (f:ist/mistar)

news_banner

Pematangsiantar, MISTAR.ID

"Itu berbahaya. Itu membuat ketagihan. Jauhkan ponselmu." Kalimat ini sering kali datang dari orang dewasa yang mengkhawatirkan dampak media sosial terhadap anak-anak. Namun, peringatan itu sering kali terasa hampa karena mereka sendiri tidak tumbuh dalam dunia yang dibanjiri notifikasi, algoritma, dan ekspektasi online.

Sebaliknya, anak-anak zaman sekarang tumbuh besar bersama internet. Mereka diberi ponsel sejak balita, mengenal TikTok sebelum mereka fasih membaca, dan menjadikan media sosial sebagai satu-satunya jendela pergaulan selama pandemi. Kini, setelah lebih dewasa, sebagian dari mereka menoleh ke belakang dan membagikan pelajaran penting untuk generasi yang menyusul.

1. Tidak Apa-Apa Menetapkan Batasan, Termasuk Memblokir Orang

"Sejak awal bahwa tidak semua orang di media sosial adalah teman. Tidak apa-apa untuk melindungi diri sendiri dan citra tubuhmu. Tidak semua konten perlu kamu lihat atau konsumsi."

Standar kecantikan yang tidak realistis, akun influencer palsu, dan tekanan sosial yang merayap diam-diam: semuanya bisa dicegah dengan menyaring apa yang kita lihat dan dengan siapa kita terhubung.

2. Banyak yang Tidak Nyata, Jadi Jangan Bandingkan Hidupmu

"Media sosial itu tempat orang tampil sempurna. Tapi semua itu bisa dimanipulasi. Yang kamu lihat bukan selalu kenyataan. Media sosial seharusnya jadi alat untuk belajar, bukan arena kompetisi untuk validasi."

3. Media Sosial Bisa Buang-Buang Waktu (dan Energi Emosional)

"Itu hanya memberi kepuasan jangka pendek. Tidak ada nilai jangka panjang. Kadang saya merasa dimanfaatkan oleh media sosial, bukan saya yang menggunakannya."

Kecanduan layar dapat menggerus waktu produktif dan bahkan memengaruhi kesehatan mental. Beberapa remaja bahkan menyarankan adanya batasan usia lebih ketat untuk penggunaan internet.

4. Lakukan Detoks dan Jeda Digital Secara Rutin

"Batasi screen time. Akhir pekan jadi waktu untuk detoks. Bisa berkumpul dengan keluarga, bersepeda. Gantinya hanya nyalakan notifikasi untuk pesan penting."

Membatasi akses bukan berarti anti-sosial. Justru, ini bentuk kendali diri dan kesadaran atas kesehatan digital pribadi.

5. Media Sosial Itu Sangat Adiktif — Sadari Itu Sejak Dini

"Berharap orang tua dapat menetapkan batasan waktu. Sekarang harus sadar, media sosial sangat membuat ketagihan. Kalau bisa, lebih penting menunda menggunakan TikTok selama mungkin."

Dorongan untuk terus menggulir tak hanya menghabiskan waktu, tetapi juga membentuk cara kita melihat diri sendiri dan dunia.

6. Jangan Terlalu Serius dan Nikmati Masa Kanak-Kanak

"Anak-anak sekarang terlalu cepat tumbuh dewasa karena terobsesi dengan apa yang mereka lihat di internet. Padahal, tidak apa-apa menjadi anak-anak. Nikmati masa itu."

Tren media sosial bisa membuat anak usia 12 tahun merasa harus tampil dewasa, trendi, dan produktif seperti influencer, padahal mereka masih dalam masa eksplorasi jati diri.

7. Anda Tidak Harus Membagikan Segalanya

"Sering kali kita merasa kehilangan karena melihat postingan orang lain. Tapi semua itu hanya cuplikan kecil dari kehidupan mereka."

FOMO (fear of missing out) bukan alasan untuk membagikan semua aspek hidupmu. Privasi adalah kekuatan, dan tidak semua hal perlu dipublikasikan.

Kesimpulan: Media sosial bukan hanya ruang bermain, ia adalah arena pembentukan identitas, tekanan sosial, dan ekspektasi yang tak henti. Suara dari para remaja yang “lulus” dari fase awal penggunaan media sosial ini menunjukkan bahwa kesadaran digital bisa tumbuh dari pengalaman, bukan larangan.

“Gunakan media sosial untuk menyalurkan minatmu, bukan untuk jadi seperti orang lain.”

“Jangan buru-buru dewasa hanya karena dunia maya memintamu begitu.”

Di tengah masifnya ancaman kebocoran data dan adiksi layar, kesehatan digital harus jadi percakapan serius di rumah, sekolah, dan ruang publik. Dan siapa yang lebih tahu bagaimana rasanya hidup di dalamnya kalau bukan anak-anak yang tumbuh bersamanya? (*)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN