Sepinya Wisata Tomok, Pedagang Souvenir Samosir Terpuruk Akibat Inflasi dan Turunnya Wisatawan


Penjual Souvenir di Pasar wisata Tomok, Dewi Boru Simatupang. (F. Pangihutan/mistar)
Samosir, MISTAR.ID
Aktivitas jual beli di kawasan wisata Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, tampak lesu dalam beberapa bulan terakhir. Lapak-lapak pedagang souvenir khas Batak yang biasanya ramai kini sepi pengunjung, bahkan sebagian penjual memilih menutup sementara dagangannya.
Dewi Simatupang, seorang penjual souvenir khas Batak di Pasar Wisata Tomok, mengaku penurunan jumlah pembeli sudah terasa sejak Juli 2025. Kondisi ini disebutnya sebagai yang terburuk sejak ia berjualan lebih dari delapan tahun di lokasi tersebut.
“Mulai bulan Juli kemarin sepi kali, bang. Biasanya setiap akhir pekan masih ada wisatawan beli ulos, gantungan kunci, atau patung Sigale-gale, tapi sekarang jarang sekali yang datang,” ujar Dewi, Minggu (12/10/2025).
Dewi menuturkan, sebelumnya ia bisa memperoleh omzet hingga Rp500 ribu hingga Rp1 juta per hari. Namun dalam tiga bulan terakhir, pendapatannya anjlok drastis — bahkan sering kali hanya mencapai Rp50 ribu dalam sehari.
Menurutnya, situasi ini tidak hanya disebabkan oleh menurunnya jumlah wisatawan, tetapi juga akibat daya beli masyarakat yang melemah seiring naiknya harga kebutuhan pokok.
“Banyak orang bilang, sekarang serba mahal. Jadi kalaupun datang ke Tomok, mereka lebih banyak lihat-lihat saja, jarang beli,” tambahnya.
Kondisi ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat Provinsi Sumatera Utara sebagai salah satu daerah dengan tingkat inflasi tertinggi di Indonesia pada September 2025. Kenaikan harga bahan pokok seperti beras, cabai, dan biaya transportasi menjadi faktor utama yang menekan ekonomi masyarakat.
Inflasi tersebut berdampak langsung terhadap sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, termasuk usaha kecil seperti penjualan souvenir khas Batak. Daya beli wisatawan domestik menurun, sementara wisatawan mancanegara belum sepenuhnya pulih pascapandemi.
Dewi juga mengungkapkan bahwa kenaikan harga bahan bakar dan ongkos kirim berimbas pada biaya produksi.
“Dulu saya bisa pesan bahan dari Medan dengan ongkos Rp100 ribu, sekarang bisa Rp160 ribu,” katanya.
Para pedagang berharap pemerintah daerah dapat mengambil langkah konkret untuk menstabilkan harga dan menghidupkan kembali pariwisata Samosir. Menurut Dewi, kegiatan promosi dan event budaya seperti Horas Samosir Fiesta dapat membantu menarik kembali wisatawan ke Tomok.
“Kami butuh kunjungan wisata ramai lagi seperti dulu. Kalau ada acara seperti Horas Samosir Fiesta, paling tidak lapak kami ikut laku,” ujarnya penuh harap.
Sebagian pedagang kini mulai mencari alternatif penghasilan lain, seperti menjual makanan ringan atau bekerja di ladang keluarga. Namun, banyak di antaranya masih bertahan dengan harapan kondisi ekonomi segera membaik.
“Kalau terus begini, entah bagaimana nasib kami pedagang kecil di Tomok. Tapi kami tetap berdoa semoga ekonomi cepat pulih,” ucap Dewi.
Penurunan aktivitas jual beli di Tomok menjadi gambaran nyata dampak inflasi terhadap sektor informal di daerah wisata. Kondisi ini menuntut perhatian serius dari pemerintah agar pariwisata Samosir—yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah—tidak terus terpuruk.
PREVIOUS ARTICLE
Semakin Banyak Perempuan Pilih Bepergian Sendiri ke Luar NegeriBERITA TERPOPULER



Kolombia Bantai Meksiko 4-0 di Laga Uji Coba: Luis Díaz Bersinar, Carbonero Tutup Pesta Gol di Texas






