Pro Kontra Kebijakan Sekolah Lima Hari di Toba

Plang Dinas Pendidikan Toba. (f: nimrot/mistar)
Toba, MISTAR.ID
Kebijakan sekolah lima hari dalam satu minggu mulai berlaku pada tahun ajaran 2025-2026 atau akan dimulai pada Juli 2025 mendatang. Kebijakan ini merupakan arahan langsung dari Gubernur Sumut, Bobby Nasution.
Kepala Cabang Wilayah VIII Dinas Pendidikan Sumatera Utara (Sumut), Jon Suhartono Purba, membenarkan bahwa program sekolah lima hari memang telah dicanangkan secara lisan.
"Sekitar Juli tahun ajaran 2025 - 2026 akan diberlakukan program belajar lima hari untuk siswa SMA di Wilayah VIII Cabang Dinas Pendidikan Sumut. Meski petunjuk tertulisnya belum ada, karena seharusnya program ini dijalankan pada tahun ajaran 2026–2027, tetapi arahan dari Gubernur agar dipercepat," ujarnya, Rabu (4/6/2025).
Dengan percepatan ini, Dinas Pendidikan di berbagai wilayah diminta segera melakukan penyesuaian agar pelaksanaan berjalan lancar sesuai instruksi pimpinan provinsi.
Dikatakan Jon, dampak positif program ini memberikan lebih banyak ruang pendidikan di dalam keluarga.
"Sabtu dan Minggu anak-anak sudah berada dalam lingkungan keluarga. Dampak eksternal, ada kesempatan anak bersama keluarga buat liburan, menikmati keindahan alam Sumut. Saat ini kita masih menunggu petunjuk dari pimpinan dan aturan yang akan dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Sumut," katanya.
Kebijakan ini masih pro dan kontra di kalangan orang tua. Salah satu warga di Kecamatan Laguboti, Hutajulu menilai program belajar lima hari akan berdampak positif ke warga yang ada di wilayah pedesaan. Sedangkan dampak negatifnya terjadi kepada masyarakat perkotaan dengan ekonomi menengah ke atas.
“Bagi masyarakat di perkotaan yang memiliki ekonomi menengah ke bawah justru akan membuka peluang bagi anak berkumpul dengan teman-teman dan terindikasi melakukan hal yang negatif,” kata Hutajulu.
Sebab, orang tua di perkotaan akan sibuk bekerja dan tidak memantau anaknya. Kemudian, masih kata Hutajulu, dikuranginya satu hari sekolah akan menambah jam pulang.
"Maka tidak ada lagi waktu belajar ekstra di luar sekolah (les) untuk menambah kemampuan akademik anak," ucapnya.
Berbeda dengan Yenti warga di Kecamatan Porsea yang kesehariannya sebagai petani. Ia menilai program tersebut sangat positif karena ada waktu luang anak membantu orang tua.
"Bagi petani yang selalu menerapkan disiplin kepada anak, jika tidak ada jam sekolah atau les tambahan maka harus bekerja di sawah dan ladang," katanya. (nimrot/hm20)