Ketika Program “Makanan Bergizi Gratis” Memicu Krisis Kepercayaan Publik

Petugas menunjukkan menu Makanan Bergizi Gratis (MBG) di dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Polri Cengkareng, Jakarta (4/11/2025).(f:antara/putra m. akbar/rwa).
Oleh: Haripin Togap Sinaga
Dari ruang kelas hingga ruang digital, masyarakat menuntut transparansi dan tanggung jawab atas keamanan pangan anak-anak sekolah. Kini, pemerintah pun berupaya memperbaikinya.
Penyebabnya, pada September 2025 Indonesia mengalami kejadian tak terduga yang berasal dari program primadona Presiden Prabowo saat kampanye menuju RI 1 tahun 2024 yakni, Makanan Bergizi Gratis (MBG).
“Kasus keracunan makanan pada anak sekolah muncul di berbagai daerah dan mendapat komentar negatif pada berbagai platform media digital seperti TikTok, Instagram, media online.
Sebagai dosen dan peneliti di bidang gizi masyarakat, saya menelusuri fenomena ini melalui pendekatan netnografi; metode riset yang mempelajari interaksi, opini, dan narasi publik di ruang digital.
Melalui observasi terhadap unggahan viral di TikTok, Instagram, dan portal berita daring, saya menemukan bahwa krisis ini tidak hanya soal makanan yang tercemar, tetapi juga kepercayaan yang tercabik.
Ketika Harapan Berbalik Jadi Kekhawatiran
Pagi yang seharusnya cerah di sekolah dasar mendadak berubah menjadi kepanikan. Puluhan siswa mengalami mual dan muntah setelah menyantap menu dari program Makanan Bergizi Gratis (MBG).
Ambulans berdatangan, orang tua berlarian ke puskesmas, dan linimasa media sosial pun dipenuhi tagar #KeracunanMBG dan #AnakKitaBerhakAman.
Program MBG sejatinya menjadi simbol kepedulian negara terhadap gizi dan masa depan anak-anak Indonesia. Namun pada pertengahan September 2025, niat baik ini berubah menjadi kegelisahan publik.
Dalam hitungan jam, berita tentang keracunan di beberapa sekolah tersebar luas di media sosial dan memantik ribuan komentar yang penuh emosi. Netnografi membaginya menjadi 5 thema;
1. Krisis Kepercayaan terhadap Pengawasan Program MBG
Unggahan-unggahan publik menunjukkan satu suara: lemahnya pengawasan di lapangan. Di TikTok, video ambulans yang datang ke sekolah disertai tulisan “Programnya bagus, tapi pengawasannya gagal!” ditonton lebih dari 350 ribu kali. Komentar-komentar lain menyoroti kondisi dapur yang tidak higienis dan penyimpanan makanan tanpa pendingin.
Krisis ini memperlihatkan bahwa bagi masyarakat, program gizi nasional bukan hanya soal pemenuhan kalori, melainkan juga jaminan rasa aman. Begitu kepercayaan terganggu, seluruh niat baik program ikut dipertanyakan.
Kepercayaan publik--yang dibangun bertahun-tahun melalui kampanye kesehatan dan program stunting--bisa runtuh oleh satu peristiwa viral. Inilah yang disebut social amplification of risk: ketika risiko kecil diperbesar oleh ketidakpastian dan ketidakhadiran informasi resmi.
2. Tuntutan Transparansi dan Akuntabilitas
Gelombang komentar publik tidak berhenti pada kritik. Banyak yang menuntut agar pemerintah membuka data penyedia jasa katering, hasil uji laboratorium, hingga daftar sekolah penerima MBG. Di Instagram, warganet menulis, “Kami hanya ingin tahu siapa yang masak dan di mana.”
Hasil studi Netnografi menunjukkan, masyarakat kini tidak sekadar ingin dilindungi, tetapi juga ingin terlibat mengawasi. Mereka menolak pendekatan lama yang serba tertutup. Transparansi bukan kelemahan, melainkan alat untuk membangun kembali kepercayaan.
Beberapa akun aktivis gizi bahkan membuat infografik sendiri, membandingkan praktik dapur MBG di berbagai daerah. Fenomena ini menunjukkan munculnya public co-auditing—pengawasan publik berbasis kolaborasi digital.
3. Emosi Publik dan Solidaritas Digital
Unggahan yang paling banyak mendapat perhatian adalah video siswa yang dibawa ke rumah sakit dengan ambulans. Narasi emosional seperti ini memantik solidaritas lintas wilayah. Akun dari Lampung, Bandung, dan Bogor saling berinteraksi, menunjukkan simpati dan berbagi pengalaman serupa.
Di balik kemarahan itu ada kepedulian. Banyak pengguna media sosial menulis komentar seperti “Semoga pemerintah belajar dari ini” atau “Tolong beri pelatihan petugas dapur, jangan salahkan mereka semata.”
Netnografi menemukan bahwa ruang digital bukan sekadar wadah amarah, tetapi juga tempat lahirnya empati kolektif. Publik tidak hanya menuntut, mereka juga menawarkan solusi moral: perbaikan sistem, pelatihan, dan komunikasi yang terbuka.
4. Ruang Digital sebagai Pengawas Kebijakan
Kasus MBG menunjukkan bahwa media sosial telah berubah menjadi arena kontrol sosial baru. Masyarakat memanfaatkan kekuatan digital untuk mengawasi, mengkritik, bahkan memverifikasi klaim pemerintah.
Namun di sisi lain, respons pemerintah terkesan lambat. Klarifikasi resmi baru muncul setelah tagar #KeracunanMBG menjadi tren nasional. Dalam komunikasi risiko, keterlambatan seperti ini bisa menjadi bumerang. Publik mengisi kekosongan informasi dengan spekulasi.
Ke depan, pemerintah perlu menganggap ruang digital sebagai early warning system—bukan ancaman. Narasi warga bisa menjadi data penting untuk mendeteksi risiko keamanan pangan secara cepat, bahkan sebelum laporan resmi diterima oleh BPOM atau Dinas Kesehatan.
5. Langkah Perbaikan SPPG yang Lebih Aman
Krisis ini menggugah pemerintah untuk bergerak cepat. Presiden Prabowo menegaskan bahwa keselamatan anak harus menjadi prioritas utama dan memerintahkan evaluasi menyeluruh terhadap dapur penyedia MBG.
Sebagai tindak lanjut, pemerintah tengah merancang Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dapur pusat pengolahan makanan bergizi yang terintegrasi. SPPG dibentuk oleh Badan Gizi Nasional (BGN) dan dirancang bukan sekadar sebagai dapur, melainkan sistem layanan pangan sekolah yang menyeluruh.
Dalam rancangan ini, setiap SPPG akan dilengkapi dengan:
- Tenaga pengolah bersertifikat higiene pangan, hasil pelatihan kolaboratif Poltekkes, BPOM, dan Dinas Kesehatan.
- Audit keamanan pangan rutin berbasis prinsip HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point).
- Rantai dingin digital (digital cold-chain) untuk memastikan suhu penyimpanan dan distribusi aman.
- Dashboard pengawasan daring, yang memungkinkan sekolah, orang tua, dan pemerintah daerah memantau proses produksi secara real time.
- Tim lintas sektor antara Kemenkes, Kemendikbud, dan Polri, untuk menindak cepat jika terjadi potensi insiden pangan.
Rancangan SPPG ini menandai perubahan paradigma besar: dari sekadar program distribusi makanan menjadi sistem ketahanan gizi sekolah yang berbasis sains, teknologi, dan kolaborasi sosial.
Dampak keracunan terhadap Sekolah yang akan Menerima Program MBG
Menariknya, di tengah ramainya pemberitaan kasus keracunan, masih banyak siswa yang tetap menaruh harapan pada program Makanan Bergizi Gratis (MBG). Survei yang penulis lakukan pada Oktober 2025 di beberapa sekolah di Kota Medan menunjukkan hal itu. Sebanyak 80% siswa pernah mendengar program MBG.
Dan ketika ditanya, “Jika di sekolahmu dilaksanakan program MBG, apakah kamu akan menerima makanan yang dibagikan?”. Dari 1300 responden siswa SD, SMP, dan SMA, 62 persen menjawab ‘Ya’, sementara 38 persen menjawab ‘Tidak’. Artinya, sebagian besar siswa masih percaya bahwa program ini membawa manfaat.
Menarik pula mencermati alasan dari kelompok yang menolak. Dari mereka yang menjawab tidak akan menerima MBG, 48,2 persen mengaku takut keracunan, 25,7 persen khawatir makanan yang dibagikan basi, dan 26 persen lainnya menyatakan ragu terhadap kualitasnya.
Temuan ini memberi pesan penting: meski kasus keracunan massal telah mengguncang kepercayaan publik, mayoritas siswa justru tidak kehilangan keyakinan terhadap niat baik program MBG.
Mereka hanya berharap pemerintah lebih ketat dalam pengawasan, agar ke depan makanan gratis di sekolah bukan hanya bergizi, tetapi juga benar-benar aman. Namun, angka 38 persen siswa yang menolak ikut program MBG tidak bisa dianggap kecil.
Kekhawatiran mereka bisa menular ke teman-teman lain dan memperlebar jarak kepercayaan terhadap program pemerintah ini. Karena itu, Badan Gizi Nasional (BGN) bersama pihak sekolah perlu turun langsung ke lapangan-- tidak sekadar mengirim makanan, tetapi juga menghadirkan edukasi dan sosialisasi.
Siswa perlu diyakinkan bahwa proses pengolahan makanan dilakukan dengan standar keamanan dan profesionalitas tinggi, dari dapur hingga meja makan.
Menata Ulang Kepercayaan
Krisis MBG adalah alarm sosial yang mengguncang, tetapi juga kesempatan untuk berbenah. Pemerintah telah menunjukkan niat kuat memperbaiki sistem, sementara masyarakat telah membuktikan kepeduliannya melalui partisipasi digital.
Keamanan pangan bukan semata urusan dapur, melainkan soal kejujuran, keterbukaan, dan kredibilitas. Program MBG harus menempatkan prinsip “aman, bergizi, dan transparan” di jantung kebijakan publik.
Melalui komunikasi yang cepat, pengawasan yang kuat, dan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, serta masyarakat, kita bisa memastikan bahwa setiap porsi makan anak Indonesia bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan barubahwa negara hadir untuk melindungi yang paling berharga: generasi penerusnya.(*)
(Penulis adalah Dosen Gizi Masyarakat, Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan)
PREVIOUS ARTICLE
Izin TKA dan Wajah Buram Birokrasi Ketenagakerjaan
























