Emil Dardak Tegaskan Aturan Sound Horeg: Antara Hiburan, Ketertiban, dan Nilai Agama

Ilustrasi, Sound Horeg. (foto:dokumenpolresgresik/mistar)
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Di tengah gegap gempita musik malam hari, Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak, tampil sebagai sosok visioner yang berusaha menyeimbangkan kebutuhan hiburan rakyat dengan ketertiban dan nilai-nilai religius.
Fenomena sound horeg—pertunjukan musik rakyat dengan sistem suara berdaya besar—tak lagi semata soal kebisingan, melainkan tantangan kebijakan multidimensi.
Blitar, Inspirasi Pengaturan Sound Horeg di Jawa Timur
Kabupaten Blitar menjadi contoh nyata pengelolaan sound horeg yang tertib.
Emil Dardak secara khusus mengapresiasi Surat Edaran Bupati Blitar yang terbit pada Maret 2025, diperkuat dengan Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum.
Kebijakan ini menjadi dasar hukum dalam mengatur penggunaan sound system, terutama saat acara seperti karnaval Agustusan.
Beberapa poin penting dari pengaturan tersebut meliputi:
Kolaborasi Aparat: Polisi menangani pelanggaran pidana, sedangkan Satpol PP menegakkan Perda.
Pencegahan Bahaya Fisik: Emil mengingatkan, "Karnaval dengan speaker tinggi berbahaya, bisa menyangkut kabel, pohon, atau bahkan jatuh."
Perlindungan Warga Rentan: Rute acara harus mempertimbangkan kepadatan penduduk dan keberadaan kelompok rentan.
Empat Pilar Regulasi Versi Emil Dardak
Bersama Kesbangpol dan Polda Jatim, Emil merumuskan kebijakan menyeluruh berbasis empat pilar utama:
1. Batasan Desibel (dB):
Volume suara wajib merujuk standar WHO (Make Listening Safe), yakni maksimal 85 dB untuk 8 jam per hari. Suara di atas 100 dB hanya diperbolehkan selama 15 menit jika tanpa pelindung telinga.
2. Standar Kendaraan dan Keselamatan:
Kendaraan pengangkut sound system tidak boleh merusak infrastruktur (seperti gapura) dan harus memenuhi standar keselamatan teknis.
3.Kesopanan dan Norma Sosial:
Emil menentang keras pertunjukan yang melanggar etika, seperti penampilan penari yang tidak senonoh: "Bukan tempatnya aksi seperti itu di jalan raya," ujarnya.
4. Zonasi dan Jam Operasional:
- Zona Merah: Dilarang melintasi kawasan dekat rumah sakit dan pemukiman padat.
- Pembatasan Waktu: Polisi bertugas menertibkan acara yang melewati batas waktu yang ditetapkan.
Mengintegrasikan Regulasi dan Fatwa MUI
Emil menyambut positif Fatwa MUI Jatim No. 1/2025 yang menyatakan bahwa penggunaan sound horeg secara berlebihan termasuk haram karena mengganggu kenyamanan dan kesehatan masyarakat.
Merespons hal tersebut, Pemprov Jatim tengah menyusun kebijakan resmi yang juga melibatkan Kapolda.
Pendekatan Emil berbasis dialog, bukan konfrontasi. Ia menegaskan, "Kami ingin mendengarkan aspirasi pelaku hiburan rakyat. Ini tantangan bersama, bukan untuk saling menyalahkan."
Solusi Bukan Sekadar Melarang, Tapi Mengatur
Emil menegaskan bahwa kebijakan harus progresif dan berlapis:
- Izin Terintegrasi: Setiap acara wajib mengantongi izin dari kepolisian, dengan verifikasi kepatuhan terhadap batas desibel dan jalur rute.
- Penegakan Tegas: Aturan tidak boleh menjadi "macan kertas". Emil mendukung penindakan terhadap pelanggar.
- Perlindungan Moral dan Ekonomi: "Sound system adalah sumber penghidupan, tapi tidak boleh menabrak moral dan nilai agama," ucapnya.
Dampak Sosial: Antara Hiburan dan Kesehatan Publik
Emil menekankan bahwa kebijakan ini lahir dari kesadaran multidimensi:
- Kesehatan Publik: Paparan suara di atas 85 dB berpotensi menyebabkan gangguan pendengaran permanen (WHO).
- Psikologis Komunitas: Banyak warga lansia dan sakit harus “mengungsi” saat acara berlangsung.
- Ekonomi Lokal: Emil mengakui peran sound system dalam menggerakkan ekonomi, tetapi ekonomi tidak boleh menjadi alasan pembenar pelanggaran norma.
"Masyarakat butuh hiburan, tapi semuanya harus sesuai aturan dan kewajaran. Kami tidak ingin menutup total, melainkan mengatur dengan bijak." ujar Emil Dardak, Wakil Gubernur Jawa Timur.
Blitar dan Masa Depan Hiburan Rakyat yang Beradab
Model Blitar menjadi bukti bahwa harmoni antara hiburan dan ketertiban dapat diwujudkan. Ke depan, Pemprov Jatim akan:
- Mensosialisasikan Regulasi ke 38 kabupaten/kota.
- Menguatkan Pengawasan Kolaboratif dengan dukungan polisi, Satpol PP, dan organisasi keagamaan.
- Mendorong Pendekatan Partisipatif melalui dialog dengan komunitas lokal.
Kebijakan ini bukan reaksi sesaat, melainkan blueprint tata kelola hiburan rakyat yang menghormati hukum, sosial, dan agama.
Emil Dardak menunjukkan bahwa pemerintah tak harus memilih antara melindungi warga atau menghargai budaya – keduanya bisa dan harus berjalan berdampingan. (berbagaisumber/*)