Sunday, October 12, 2025
home_banner_first
MEDAN

Pengamat Politik: Bintang Mahaputera Bukan Soal Jasa, Tetapi Cermin Orientasi Nilai Rezim

Mistar.idKamis, 28 Agustus 2025 11.25
RA
pengamat_politik_bintang_mahaputera_bukan_soal_jasa_tetapi_cermin_orientasi_nilai_rezim

Ilustrasi Bintang Mahaputera. (Foto: Istimewa/Mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Pengamat politik Sumatera Utara (Sumut), Shohibul Anshor Siregar, menilai pemberian Bintang Mahaputera buka sekadar penghargaan administratif dan jada. Tetapi hal tersebut merupakan cermin orientasi nilai rezim.

“Saya menilai itu adalah alat politik nilai pada rezim. Negara memberi pesan tentang siapa yang dianggap teladan, apa yang dianggap jasa besar, dan nilai apa yang sedang diagungkan pada satu periode tertentu,” ujarnya pada Mistar, Kamis (28/8/2025).

Ia menyoroti Ketua dan Sekretaris Umum Muhammadiyah hanya mendapat Bintang Mahaputera Utama (kelas tiga), padahal mereka memimpin organisasi besar dengan kontribusi historia, moral, intelektual, dan sosial yang sangat luas, sehingga menimbulkan kekecewaan.

“Muhammadiyah dan juga Nahdlatul Ulama bukan sekadar organisasi masyarakat. Tetapi juga berperan membentuk identitas bangsa, etos pendidikan, kesehatan, dan moral publik,” tuturnya.

Ia mengatakan dalam krisis nilai sekarang, politik kerap kehilangan orientasi moral para pemimpin organisasi semacam ini, padahal ini merupakan salah satu fondasi terakhir bagi rekonstruksi nilai kebangsaan.

“Pertanyaan saya Apa Prabowo tak sadar negeri ini sedang krisis nilai?. Mengingatkan bahwa keputusan semacam ini tidak netral,” kata Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini.

Menurutnya, fenomena tersebut merupakan perhitungan politis. Hal itu berkaitan dengan menjaga hierarki, menghindari kesan bahwa pemimpin Ormas setara dengan pejabat negara tertinggi, atau ada bias struktural dalam tradisi birokrasi penghargaan.

“Tetapi jika ditimbang dengan urgensi moral bangsa hari ini, logikanya justru pemimpin ormas yang membina nilai, etika, dan visi peradabanlah yang lebih pantas mendapat kelas tertinggi,” katanya.

Sehingga, ia menyampaikan pemberian tanda kehormatan yang kurang proporsional justru berpotensi memperdalam krisis nilai itu sendiri. Shohibul menegaskan, Bintang Mahaputera bukan hanya soal siapa berjasa, tapi juga cermin orientasi nilai rezim.

“Negara seolah menilai kontribusi politik formal lebih tinggi daripada kontribusi moral, intelektual, dan kultural. Padahal, dalam sejarah bangsa, yang menyelamatkan Indonesia dari krisis seringkali bukan hanya para pejabat, tapi juga pemikir, pendidik, ulama, dan aktivis sosial,” ucapnya. (Ari/hm18)

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN