Penetapan Tanah Terlantar Tak Bisa Sembarangan, Ini Penjelasan Dosen Hukum Agraria

Dosen Hukum Agraria dari Universitas Prima Indonesia (Unpri), Dr. Maltus Hutagalung dalam Podcast Mistar. (foto:dokmistar)
Medan, MISTAR.ID
Penetapan tanah terlantar tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Hal ini disampaikan oleh Dosen Hukum Agraria dari Universitas Prima Indonesia (Unpri), Dr. Maltus Hutagalung, yang menyoroti masih banyaknya masyarakat belum memahami proses serta dasar hukum terkait status tanah yang dianggap ‘terlantar’.
Apalagi, isu mengenai rencana pemerintah mengambil alih tanah-tanah terlantar tengah ramai diperbincangkan.
“Sekarang yang terbaru itu kan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021. Di situ diatur bahwa hak-hak atas tanah misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pengelolaan, hingga hak pakai dapat menjadi objek tanah terlantar,” ujarnya dalam program Mo Tau Aja, Podcast Mistar, Rabu (6/8/2025).
Namun, dosen yang juga mengajar di Universitas Sari Mutiara Indonesia itu menegaskan bahwa tidak semua tanah yang tampak tidak terurus secara otomatis dikategorikan sebagai tanah terlantar.
Baca Juga: Tanah Telantar Bisa Diambil Negara
“Misalnya ada sebidang tanah dengan semak belukar, tanpa pengelolaan. Dengan isu yang beredar sekarang, tanah seperti itu langsung dianggap terlantar dan akan diambil pemerintah. Ini menimbulkan kepanikan di masyarakat,” katanya.
Menurutnya, tanah tidak bisa serta merta diambil alih hanya karena tampak terbengkalai. Pemerintah harus melalui tahapan identifikasi dan mekanisme peringatan administrasi terlebih dahulu.
Hak atas tanah seperti hak milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan hak pakai memang bisa dikategorikan sebagai tanah terlantar jika tidak digunakan sesuai tujuan pemberian hak, dan disertai unsur kesengajaan dari pemiliknya untuk menelantarkan lahan tersebut.
“Harus ada identifikasi dulu. Kalau terbukti ditelantarkan secara sengaja, baru diberikan peringatan administrasi. Itu pun bertahap bukan langsung sekali. Peringatannya diberikan sebanyak tiga kali,” ujar Maltus.
Apabila peringatan pertama tidak ditanggapi, maka akan diberikan peringatan kedua dalam kurun waktu tertentu. Jika masih diabaikan, peringatan ketiga akan dikirimkan. Setelah seluruh peringatan diabaikan, barulah pemerintah membentuk panitia pemeriksaan.
Maltus menjelaskan, panitia pemeriksaan tanah terbagi menjadi tiga jenis, yakni Panitia A untuk memeriksa tanah dengan hak milik dan HGB, Panitia B: untuk permohonan HGU, dan Panitia C khusus untuk memeriksa kasus tanah terlantar.
Namun, apabila pemegang hak menyatakan kesediaannya untuk kembali mengelola atau memanfaatkan tanah tersebut, maka tanah itu tidak serta merta ditetapkan sebagai tanah terlantar.
“Kalau tetap tidak direspons, panitia C bisa memberi kesimpulan dan mengusulkan ke pusat agar tanah itu ditetapkan sebagai objek tanah terlantar. Jika disetujui oleh pemerintah pusat, maka akan diterbitkan Surat Keputusan penetapan,” ucap Maltus.
Dengan begitu, kata Maltus, mekanisme penetapan tanah terlantar sangat panjang dan tidak bisa dilakukan secara sembarangan. (susan/hm16)