Korupsi Dana BOS di Dua SMA Negeri Medan, Pengamat: Bukan Kasus Individu tapi Jaringan

Pengamat Anggaran dan Kebijakan Publik Sumatera Utara, Elfenda Ananda (Foto: Susan/Mistar)
Medan, MISTAR.ID
Kasus dugaan korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di dua SMA Negeri di Medan yang menyeret kepala sekolah, bendahara, hingga penyedia barang, dinilai karena rapuhnya sistem pengawasan BOS di Sumatera Utara (Sumut).
Hal itu ditegaskan pengamat anggaran dan kebijakan publik Sumatera Utara, Elfenda Ananda. Menurutnya, praktik penyimpangan dana BOS bukan perbuatan individu, melainkan bagian dari jaringan yang melibatkan aktor internal maupun eksternal sekolah.
“Korupsi dana BOS adalah bentuk pengkhianatan terhadap hak dasar masyarakat. Dana yang semestinya menjamin pemerataan kualitas pendidikan justru dijadikan bancakan oleh oknum penyelenggara pendidikan,” katanya melalui pesan tertulis kepada Mistar, Selasa (23/9/2025).
Sebelumnya, Kejaksaan Negeri (Kejari) Belawan menahan mantan Kepala SMAN 16 Medan berinisial RA pada Senin, 8 September 2025, terkait dugaan tindak pidana korupsi BOS tahun anggaran 2022–2023.
Penahanan dilakukan berdasarkan Surat Penetapan Tersangka No. Print-03/L.2.26.4/Fd.1/09/2025. RA kini dititipkan di Rutan Perempuan Kelas II Tanjung Gusta Medan selama 20 hari, terhitung 8–27 September 2025.
Tidak hanya RA, tim penyidik Pidsus Kejari Belawan juga menahan dua tersangka baru, yakni bendahara sekolah dan penyedia barang, pada Kamis 18 September 2025.
“Kerugian negara yang mencapai Rp826,7 juta dari total Rp3 miliar (sekitar 27,5 persen) jelas menunjukkan adanya penyimpangan sistem, bukan sekadar kesalahan administratif,” tuturnya.
Elfenda menilai, fakta bahwa kepala sekolah, bendahara, dan penyedia barang sama-sama ditetapkan sebagai tersangka menunjukkan gagalnya mekanisme kontrol internal. Padahal, lanjutnya, regulasi seperti Permendikbudristek No. 63 Tahun 2022 dan Tahun 2023 sudah mengatur akuntabilitas melalui aplikasi ARKAS (Aplikasi Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah).
“Sayangnya, lemahnya monitoring realisasi dan minimnya audit lapangan membuat penyimpangan tetap leluasa,” ucap Elfenda.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa kasus yang terjadi di SMAN 16 dan SMAN 19 Medan berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap sekolah negeri dan menambah stigma negatif terhadap pengelolaan dana BOS.
“Seorang kepala sekolah seharusnya menjadi teladan integritas. Bukan justru mencoreng wajah dunia pendidikan,” ujarnya.
Ia juga mengatakan bahwa hal ini menjadi alarm keras bahwa pengawasan dana BOS masih lemah dan sangat rawan dikorupsi secara terstruktur.
“Jika tidak ada perbaikan sistemik, kasus serupa hampir pasti akan terulang di sekolah-sekolah lain,” ujarnya.
Elfenda juga mendorong agar pemerintah provinsi, khususnya Inspektorat Sumut, melakukan audit menyeluruh dengan pendekatan digital. Menurutnya, inspeksi mendadak harus digiatkan, sekolah yang transparan diberi penghargaan, sedangkan yang terbukti menyimpang diberi sanksi tegas, termasuk pemecatan.
“DPRD Sumut maupun kabupaten/kota perlu segera memanggil Kepala Dinas Pendidikan untuk mendorong reformasi pengelolaan BOS,” katanya.
Ia menjelaskan, beberapa langkah mendesak antara lain mewajibkan pembayaran digital berbasis NIK untuk seluruh transaksi BOS (belanja, honor, jasa).
“Terapkan audit real-time dengan mengintegrasikan ARKAS ke sistem keuangan daerah dan KPK. Perkuat peran komite sekolah dan orang tua sebagai watchdog yang ikut menilai dan menyetujui prioritas belanja,” ucapnya lagi. (susan/hm20)
PREVIOUS ARTICLE
DPRD Sumut Pertanyakan Urgensi Tujuh Kali Pergeseran Anggaran