Jakarta, MISTAR.ID

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan bahwa kesepian bukan hanya persoalan emosional, tetapi juga dapat memperburuk kesehatan fisik hingga memangkas usia harapan hidup.

Kondisi ini muncul ketika seseorang kehilangan kontak sosial, merasa terabaikan, dan akhirnya terjebak dalam rasa putus asa. Dalam kasus ekstrem, kesepian bisa mendorong seseorang melukai diri hingga mengakhiri hidup.

Data WHO mencatat, antara 2014–2019, kesepian dikaitkan dengan lebih dari 871 ribu kematian per tahun, atau setara 100 orang setiap jam. Fenomena “mati dalam kesepian” juga mulai marak dilaporkan di negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan.

Namun, kesepian kini bukan hanya ancaman bagi lansia. Generasi muda pun mulai mengalaminya.

dr. Albert Maramis SpKJ dari Perhimpunan Dokter Kesehatan Jiwa Indonesia mengungkapkan, laporan terkait kesepian makin sering muncul dalam lima tahun terakhir.

“Awal saya praktik belum ada pasien yang mengeluh soal kesepian. Tapi sekarang, keluhannya makin banyak,” jelas Albert dalam sebuah webinar di Jakarta Selatan, dilansir dari detikhealth, Jumat (12/9/2025).

Meski penyebab utamanya belum dapat dipastikan, ia menilai penting untuk membekali anak-anak dengan kemampuan self-regulation atau kecakapan mengelola diri. Tujuannya agar mereka mampu memenuhi kebutuhan emosional tanpa sepenuhnya bergantung pada orang lain.

“Negara juga punya peran mengawal kesejahteraan masyarakat. Kita jangan sampai mengalami tren seperti di Jepang, di mana banyak orang meninggal dalam kesepian. Apalagi indeks kebahagiaan di Indonesia masih belum optimal,” ujarnya.

Albert menekankan, masyarakat perlu belajar menerima kesendirian dan mengisinya dengan aktivitas positif. Tidak harus selalu produktif, tetapi cukup dengan kegiatan yang bisa memberi rasa senang.

“Apapun bentuknya, yang penting bisa dinikmati. Karena secara realistis, kita tidak bisa 100 persen bergantung pada orang lain,” tuturnya.[]