Menopause Masih Dianggap Remeh, Dampaknya Serius dan Perlu Perhatian

Foto bersama usai kegiatan diskusi masalah menopause yang digelar Perempuan Sumatera Mampu yang berlangsung secara offline maupun online (f:ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Perimenopause dan masa menopause, yang umumnya dialami perempuan di akhir usia 40-an hingga awal 50-an, masih belum mendapatkan perhatian serius. Padahal, pada fase ini muncul berbagai gejala umum seperti perubahan mood, depresi, kecemasan, hot flush (rasa panas mendadak di wajah dan leher disertai keringat berlebih), serta penurunan hasrat seksual.
Hal ini disampaikan dokter spesialis penyakit dalam konsultan geriatri, dr. Dina Aprillia Ariestine, dalam diskusi yang digelar Konsorsium Perempuan Sumatera Mampu (Permampu) bersama delapan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bawah naungannya.
Diskusi yang diadakan dalam rangka memperingati Hari Lansia Nasional ke-25 itu menyoroti isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) bagi perempuan menjelang usia lanjut (lansia), terutama pada masa perimenopause dan menopause.
Masalah kesehatan perempuan usia 40 tahun ke atas, menurut pemaparan dalam diskusi tersebut, masih sering dianggap sepele. Padahal, perimenopause merupakan masa transisi menuju menopause yang dapat berlangsung antara dua hingga delapan tahun.
“Menopause sendiri ditandai dengan berhentinya menstruasi secara permanen selama 12 bulan. Umumnya, perempuan memasuki masa perimenopause di akhir usia 40-an atau awal 50-an tahun,” ucap Dina di hadapan 207 peserta diskusi, Jumat (30/5/2025).
Selain gangguan psikologis, perempuan juga menghadapi risiko kesehatan fisik seperti obesitas akibat kurang bergerak, gangguan pencernaan, dan penurunan kepadatan tulang (osteoporosis).
“Gejala tersebut dapat menurunkan kualitas hidup perempuan lansia jika tidak didampingi secara tepat,” tuturnya.
Dalam sesi diskusi, beberapa peserta mengungkapkan kekhawatiran menjadi beban bagi keluarga, keterbatasan fisik yang makin nyata, hingga perasaan tidak dihargai dan ketakutan tidak bisa melayani pasangan secara seksual.
“Dukungan keluarga sebagai sistem pendukung utama, baik melalui komunikasi yang terbuka dengan pasangan dan anak-anak, maupun dengan menjaga pola makan sehat serta tetap beraktivitas dan bersosialisasi, sangat penting,” ujarnya.
Penelitian yang dikutip dalam diskusi menyebutkan bahwa meskipun perempuan cenderung memiliki harapan hidup lebih panjang dibanding laki-laki, mereka juga lebih rentan mengalami penderitaan. Hal ini bukan hanya karena fisik yang melemah, tetapi juga akibat struktur sosial menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih banyak menanggung beban.
Para peserta pun berharap pemerintah membenahi akses layanan posyandu lansia, menyediakan dokter geriatri di rumah sakit, serta mendukung kegiatan komunitas lansia seperti senam bersama atau rekreasi.
Koordinator Permampu, Dina Lumbantobing, menyatakan pihaknya akan memastikan seluruh lansia dampingan memiliki BPJS atau Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan memperoleh layanan pemeriksaan kesehatan gratis saat ulang tahun.
“Dan memperoleh seluruh manfaat berupa fasilitas bagi warga lansia. Khususnya ketersediaan dokter spesialis yang menangani berbagai keluhan kesehatan yang dialami lansia di semua rumah sakit,” tuturnya. (susan/hm17)
PREVIOUS ARTICLE
RS di Sumut Kesulitan Penuhi KRIS, Dinkes Minta Relaksasi