Ilmuwan Bahas Rencana “Meredupkan” Matahari demi Cegah Pemanasan Global

Ilustrasi matahari. (foto:istockphoto/mistar)
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Upaya manusia untuk melawan perubahan iklim kini memasuki babak baru yang kontroversial.
Sejumlah ilmuwan tengah meneliti ide “meredupkan” matahari sebuah konsep geoengineering yang bertujuan mengurangi panas Bumi dengan menyebarkan partikel mikroskopis sulfur ke atmosfer.
Namun, di balik gagasan yang tampak menjanjikan itu, tersimpan potensi bencana global yang dapat mengacaukan sistem iklim dan mempercepat kerusakan alam.
Konsep geoengineering, atau rekayasa iklim buatan, sebenarnya terinspirasi dari fenomena alam. Salah satu contohnya adalah letusan Gunung Pinatubo di Filipina pada tahun 1991.
Saat itu, hampir 20 juta ton sulfur dioksida terlontar ke stratosfer lapisan atmosfer di ketinggian 12 hingga 50 kilometer. Menurut U.S. Geological Survey, seperti dilansir, Sabtu (25/10/2025), keberadaan partikel sulfur tersebut menurunkan suhu rata-rata global sekitar 0,5°C.
Namun, pendinginan itu hanya berlangsung dua tahun dan menimbulkan efek samping yang signifikan. Sistem monsun India terganggu, menyebabkan kekeringan parah di Asia Selatan. Selain itu, lapisan stratosfer justru memanas dan mempercepat kerusakan ozon.
Dampak tersebut membuat para ilmuwan kini lebih berhati-hati dalam menilai ide “meredupkan” matahari.
“Banyak hal yang mungkin terjadi jika kita mencoba melakukan ini, dan jangkauan dampaknya jauh lebih luas dari yang selama ini disadari,” ujar Faye McNeill, ahli kimia atmosfer dari Columbia Climate School dan Columbia Engineering.
Dalam penelitian itu, para ilmuwan menggunakan model komputer untuk memprediksi efek intervensi geoengineering. Namun, McNeill menegaskan bahwa simulasi tidak akan pernah sepenuhnya menggambarkan kenyataan.
“Dalam simulasi, partikel yang digunakan sempurna dengan ukuran, jumlah, dan lokasi yang ideal. Akan tetapi, dunia nyata jauh lebih kompleks dan penuh ketidakpastian,” katanya.
Skenario terburuk dapat terjadi jika partikel sulfur menumpuk di wilayah khatulistiwa, karena berpotensi mengganggu sirkulasi atmosfer global dan distribusi panas di seluruh Bumi.
Sebaliknya, bila partikel terkonsentrasi di kutub, sistem monsun tropis dapat terganggu.
“Ini bukan sekadar soal memasukkan lima teragram sulfur ke atmosfer. Waktu dan lokasinya juga sangat menentukan,” tambah McNeill.
Selain berisiko mengacaukan cuaca, partikel sulfur yang akhirnya turun ke Bumi juga dapat bereaksi dengan air hujan dan membentuk hujan asam yang merusak tanah serta ekosistem.
Tim peneliti mencoba mencari alternatif bahan selain sulfur, tetapi hasilnya belum menjanjikan.
“Banyak kandidat aerosol yang diusulkan tidak melimpah di alam atau sulit disebarkan secara merata,” jelas Miranda Hack, ilmuwan aerosol dari Columbia University.
Beberapa bahan seperti berlian dan zirconia terlalu mahal, sementara kalsium karbonat dan aluminium mudah menggumpal di udara.
Dengan segala keterbatasan dan risikonya, para ilmuwan menegaskan bahwa “meredupkan” matahari bukanlah solusi instan untuk mengatasi perubahan iklim. Justru, bila salah langkah, upaya ini bisa menjadi awal dari kerusakan yang lebih besar bahkan ancaman bagi kehidupan di Bumi itu sendiri. (hm16)





















