Wacana Larangan Roblox, Akademisi Minta Fokus Edukasi Digital Anak

Dekan Fakultas Psikologi Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan, Dr. Nenny Ika Putri Simarmata, M.Psi. (Foto: Dok. Nenny/Mistar)
Medan, MISTAR.ID
Wacana pelarangan game Roblox bagi anak-anak karena isu konten kekerasan menuai tanggapan dari akademisi. Dekan Fakultas Psikologi Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan, Dr. Nenny Ika Putri Simarmata, M.Psi, menilai pelarangan total justru berpotensi kontra-produktif dan tidak menyelesaikan masalah.
“Anak mungkin beralih ke platform lain yang lebih sulit diawasi. Hal ini justru mengabaikan kebutuhan edukatif dan kreativitas digital yang sebenarnya bisa dipenuhi dengan cara aman,” katanya kepada Mistar melalui pesan tertulis, Senin (11/8/2025).
Sebaliknya, kata Nenny, pendekatan multifaset yang mengedukasi, membangun literasi digital, memperkuat parental control akan lebih efektif daripada pelarangan total.
Nenny memahami kekhawatiran pemerintah, seperti yang disampaikan Mendikbud Abdul Mu’ti dan Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, terkait potensi pengaruh buruk konten kekerasan terhadap perkembangan anak. Berdasarkan teori agresi, lanjutnya, paparan media kekerasan dapat memicu perilaku agresif dan emosi marah yang berpotensi bertahan dalam jangka panjang.
“Selain itu, penelitian longitudinal menunjukkan setiap peningkatan paparan media kekerasan di masa kanak-kanak, akan meningkatkan perilaku kekerasan serius di masa remaja dan dewasa,” tuturnya.
Sebagai psikolog, ia menyebut setidaknya ada dua dampak utama jika Roblox benar mengandung unsur kekerasan. Pertama, peningkatan agresi, yang menurut meta-analisis lebih dari 400 studi memiliki korelasi signifikan dengan kemarahan dan perilaku agresif.
Kedua, munculnya fenomena kecanduan game dan gangguan perilaku, di mana anak-anak cenderung mengabaikan tugas sekolah, kebersihan diri, terbiasa mengucapkan kata-kata kasar, hingga mengalami gangguan fisik maupun emosional.
Untuk pencegahan, Nenny menyarankan strategi literasi digital yang melibatkan sekolah dan keluarga. Bentuknya bisa berupa pembatasan penggunaan gawai dengan aturan jelas (restriktif), diskusi aktif antara orangtua dan anak mengenai konten digital, serta kegiatan kolaboratif seperti bermain atau belajar bersama.
Ia juga menekankan pentingnya peran negara dan keluarga dalam mengatur konten game tanpa mematikan kreativitas anak. Di antaranya adalah regulasi dan moderasi cerdas yang memadukan kombinasi kecanggihan AI dan intervensi orang tua dalam memfilter konten game yang dimainkan anak.
Ia menambahkan, pemerintah dapat menyusun kerangka hukum perlindungan anak digital. Contohnya, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 di Indonesia menunjukkan inisiatif regulasi untuk menciptakan ekosistem digital aman bagi anak.
“Menciptakan kolaborasi ekosistem digital antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan penyedia layanan, dalam membangun budaya penggunaan sehat, pendidikan digital, dan ruang explorasi aman teknologi,” ujarnya. (susan/hm20)
PREVIOUS ARTICLE
Mata Kuliah Bertema Roblox Segera hadir di President University