Tuesday, September 9, 2025
home_banner_first
OPINI

Perampasan Aset Koruptor Ketika Keadilan Sosial Terseok-seok

journalist-avatar-top
Senin, 8 September 2025 14.19
perampasan_aset_koruptor_ketika_keadilan_sosial_terseokseok

Ilustrasi (Foto: Istimewa/Mistar)

news_banner

Oleh: Bersihar Lubis

Pengesahan RUU Perampasan Aset itu mendesak. Tuntutan yang nyaring disuarakan demonstran mahasiswa akhir-akhir ini, dinilai bertaji untuk membuat para koruptor kapok dan takut. Sebab kalau hanya diadili dan dihukum, koruptor dan keluarganya santai saja karena hartanya bisa hidup tujuh turunan. Setelah keluar penjara, hidupnya tetap enak kepenak. Sementara banyak rakyat dicekam kemiskinan. Tapi kalau sudah dimiskinkan melalui Perampasan Aset, dia mati kutu.

Penegak hukum tinggal melirik siapa pun pejabat yang kekayaannya tidak sebanding dengan penghasilan sahnya. Dia wajib dimintai penjelasan dan bisa disita jika tidak dapat membuktikan legalitas asal usul harta tersebut. Inilah, pembuktian terbalik. Ini bukan dendam. Tapi demi keadilan.

Sesungguhnya, Presiden Joko Widodo telah mengirim Surat Presiden Nomor R22/Pres/05/2023 dan naskah RUU Perampasan Aset kepada Ketua DPR RI. Intinya, agar segera dibahas oleh DPR. Isu RUU ini pun sudah muncul sejak 2010. Bahkan, sudah masuk dalam program legislasi nasional 2015-2019. Namun tidak kunjung dibahas DPR karena tidak masuk dalam daftar prioritas RUU.

Kemudian, pada periode Prolegnas 2020-2024, RUU ini kembali dimasukkan dan Pemerintah mengusulkan agar RUU ini dimasukkan dalam Prolegnas 2020. Eh, usulan tersebut tidak disetujui oleh DPR RI. Barulah pada 2023, pemerintah dan DPR RI sepakat memasukkan RUU ini dalam Prolegnas 2023.

Ketika para demonstran kembali menyuarakan isu ini, DPR dan pemerintah pun mengangguk. Tapi tampaknya baru akan dibahas setelah RUU Kuhap disahkan. Oh, masih lama.

Syahdan, pembuktian terbalik untuk menetapkan perampasan aset tindak pidana, sudah diberlakukan di Amerika Serikat sejak 2000. Ditempuh melalui hukum keperdataan (civil based forfeiture atau non-conviction based forfeiture/ NCB). Memang, lazimnya, perampasan aset dilakukan melalui hukum pidana (criminal based forfeiture/CB), setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Menurut Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, sistem hukum acara pidana Indonesia digunakan cara CB, dan perlu menunggu waktu 400 hari untuk sampai pada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Sedang melalui NCB tidak perlu menunggu waktu selama itu karena penuntut umum dapat segera membawa terdakwa ke pengadilan dengan cara pembuktian terbalik atas aset terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana.

Praktik NCB di Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara Uni Eropa, berhasil mengembalikan keuangan secara signifikan. Sementara, pengembalian kerugian keuangan negara dalam kasus Indonesia masih sangat minim, Misalnya, sepanjang 2021, dalam catatan Indonesia Corruption Watch atau ICW, jumlah kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang melibatkan 1.404 terdakwa mencapai Rp 62,9 triliun. Akan tetapi, jumlah pengembalian kerugian negara yang dijatuhkan majelis hakim dalam pembayaran uang pengganti hanya sekitar 2,2% atau setara Rp 1,4 triliun.

Untuk kasus Indonesia, tampaknya sistem pelaporan harta kekayaan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN masih perlu diperkuat dengan sistem pembuktian terbalik jika ditemukan bukti awal adanya aset yang diduga berasal dari tindak pidana. Apalagi sudah ada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2011 dan Nomor 2 Tahun 2011, antara lain, meliputi penggunaan metode pembuktian terbalik dalam mengefektifkan penegakan hukum. Barulah, disusul pemberlakuan UU Perampasan Aset Tindak Pidana.

Dibutuhkan penyidik yang independen dan profesional. Tidak dijadikan sebagai alat politik. Apalagi untuk pemerasan. Tetap memberlakukan asas praduga tak bersalah. Meski diharuskan membuktikan asal usul hartanya, tapi hak asasinya tetap dihormati.

Sosok Sederhana

Zaman memang sudah berubah. Padahal bangsa ini pernah memiliki para pejabat yang hidup sederhana, walaupun tanpa UU Perampasan Aset. Dari berbagai catatan, kita diberitahu betapa seorang Mohammad Natsir, Perdana Menteri Indonesia (1950-1951), tokoh Masyumi, pejuang kemerdekaan, dikenal sebagai pribadi yang santun, cerdas dan sederhana. Pernah menjadi Menteri Penerangan 1946-1949. lelaki kelahiran 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat itu bukanlah orang yang bergelimang harta meski telah menjadi perdana menteri.

Suatu kali anak-anaknya kegirangan, ayahnya bakal diberi hadiah mobil. Seorang dari Medan ingin memberi Natsir sebuah mobil Chevrolet Impala, mobil sedan besar buatan Amerika Serikat. Tapi, impian Sitti Muchliesah (Lies), anak pertama Natsir bersama adik-adiknya, buyar.

Natsir menolak hadiah itu dan tetap memakai mobil DeSoto yang kusam. “Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup,” ujar Lies dalam wawancara dengan Tempo pada 2008.

George McTurnan Kahin, guru besar Universitas Cornell, menceritakan pertemuannya dengan Natsir suatu kali di Yogyakarta. Kahin melihat Natsir memakai jas bertambal, kemejanya hanya dua setel dan sudah butut.

Natsir juga menolak tawaran uang yang diberikan sekretarisnya Maria Ulfa usai mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri. Rupanya, masih ada catatan sisa dana taktis dan dana ini menjadi hak perdana menteri. Natsir hanya menggeleng. Dana itu akhirnya diberikan kepada koperasi karyawan.

Anak bungsu Natsir, Ahmad Fauzie Natsir, menulis dalam sebuah memoar mengenang Natsir. Dengan sangat menyentuh. Fauzie, bercerita ayahnya mengembalikan mobil dinas setelah mundur dari perdana menteri di Istana Presiden. Lalu, Natsir membonceng sepeda yang dibawa sopirnya menuju rumah jabatan di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat). Lalu, pindah ke rumah pribadinya di Jalan H.O.S. Cokroaminoto 46.

Di tengah protes tunjangan dan fasilitas anggota DPR yang fantastis – dan syukur sudah dipangkas -- kita kenang pula sosok KH Idham Chalid. Seorang ulama Nahdlatul Ulama (NU), pernah menjadi Ketua DPR/MPR RI periode 1971–1977. Uniknya, ia dikenal sebagai Ketua DPR termiskin di Indonesia. Disarikan dari berbagai sumber, pria kelahiran 27 Agustus 1921 ini tidak mau keluarganya menikmati kemudahan dari jabatan yang ia emban. Mobil dinas, rumah dinas, ataupun tunjangan istimewa ditolak dengan tegas.

Keluarga Ketua Umum PBNU periode 1956-1984 ini terbiasa menggunakan metromini untuk bepergian. Bahkan, beberapa anaknya berjualan nasi dan air minum untuk membantu biaya kebutuhan sehari-hari. Bagi Idham, jabatan adalah amanah, bukan hak istimewa.

Masih ada Ma’rie Mohamad, mantan Menteri Keuangan dan Hoegeng Imam Santoso, mantan Kapolri yang hidup sederhana dan menolak suap.

Keteladanan moral ini agaknya yang hilang dari pemimpin sekarang, walau bukan generalisasi. Degradasi moral marak, kehidupan kian hedonik. Rumah dan mobil mewah bertabur, harta bergerak dan tak bergerak di mana-mana dan deposito bertumpuk.

Fenomena ini memerlukan UU Perampasan Aset, yang memiskinkan pejabat korup, demi keadilan sosial yang sudah lama terseok-seok. Pemerintah dan DPR bergegaslah mengesahkan RUU Perampasan Aset. Jangan sampai keadaan semakin membusuk, berkarat, dan hancur berderai-derai. **

** Penulis adalah jurnalis di Medan.

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN