Tuesday, September 9, 2025
home_banner_first
MEDAN

Menapaki Lorong Sunyi Sentra Percetakan di Jalan Mesjid Medan

journalist-avatar-top
Selasa, 9 September 2025 07.00
menapaki_lorong_sunyi_sentra_percetakan_di_jalan_mesjid_medan

Sentra percetakan di Jalan Mesjid, Kelurahan Kesawan, Medan Barat, Kota Medan. Aktifitas percetakan yang kini nyaris mati di tengah disrupsi digital . (f:susan/mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Jalan Mesjid, yang terletak di Kelurahan Kesawan, Medan Barat, Kota Medan, pernah dikenal sebagai jantung percetakan Kota Medan. Dari undangan pernikahan, faktur perusahaan, hingga dokumen instansi pemerintah, semua dicetak di sini.

Namun kini, deru mesin cetak yang dulu riuh nyaris 24 jam, berubah jadi keheningan panjang. Yang tersisa hanya ruko-ruko sepi dan pemilik usaha yang berjibaku melawan zaman. Mati suri, sebuah istilah yang paling tepat menggambarkan situasi ini.

Usaha percetakan di Jalan Mesjid dan sekitarnya kian terhimpit perubahan zaman. Sejak pandemi Covid-19, serta tumbuh kembangnya layanan digital secara masif, menjadi puncak badai yang menghantam bisnis mereka.

Dari pantauan Mistar, sepanjang Jalan Mesjid tampak lengang. Hanya ada sejumlah kendaraan roda dua dan roda empat yang parkir di halaman ruko-ruko, yang tak lain adalah milik pekerja maupun pengusaha percetakan.

Beberapa ruko tampak tertutup rapat lengkap dengan gemboknya. Ruko yang tertutup sebagian masih memiliki merek dan banner, lainnya benar-benar bersih tanpa nama.

Di sejumlah toko yang terbuka, tampak beberapa pegawai hanya sibuk mengobrol dengan yang lainnya, mendengar musik, bahkan ada juga yang sedang termenung.

Salah seorang pemilik usaha percetakan, M. Saifuddin (57), mengaku kondisi bisnisnya makin sulit. “Sudah nggak ngerti lah gimana ini prospeknya ke depan, makin hancur percetakan ini," katanya sambil mengusap wajahnya.

Kemerosotan bisnis percetakan tak hanya dirasakan Saifuddin, namun merata bagi para pebisnis lainnya, khususnya di Jalan Mesjid. Ia menuding, kemerosotan bisnis ini karena perkembangan media sosial yang begitu mudah diakses.

Usaha percetakan yang dirintis Saifuddin sejak 2003 itu tampak hening. Sedikit pun tak terdengar suara mesin cetak yang bekerja. Padahal dulu, mesin itu nyaris tak pernah berhenti, bahkan terkadang mereka sering diburu waktu karena banyaknya pesanan dari luar kota.

Sentra percetakan di Jalan Mesjid, Kelurahan Kesawan, Medan Barat, Kota Medan. Aktifitas percetakan yang kini nyaris mati di tengah disrupsi digital . (f:susan/mistar)

Ia mengingat masa-masa jaya percetakan di sana yang disebut sebagai wilayah percetakan terbesar kala itu. Masyarakat dari seluruh penjuru pasti datang ke Jalan Mesjid untuk segala urusan percetakan. Tak hanya masyarakat, dari instansi pemerintahan juga biasanya akan membuat pesanan kop surat maupun faktur ke sana.

“Dulu banyak instansi yang datang. Seperti kertas pembayaran SSP (Surat Setoran Pajak), dicetak di sini. Bon faktur juga begitu. Sekarang mereka sudah pakai sistem online kan,” katanya.Cara untuk Bertahan

Saifuddin mengaku, omzetnya anjlok lebih dari 60 persen dibanding 10 tahun lalu. Bahkan ia juga harus berjuang membayar sewa ruko yang mencapai Rp60 juta per tahun.

“Sekarang bisa bertahan saja sudah syukur. Pengeluaran sudah lebih besar dari pendapatan,” ujarnya sambil menghela napas panjang.

Saifuddin kini hanya mempekerjakan satu orang, padahal dulu pernah memiliki beberapa karyawan. Dia mengatakan, dengan perhitungan sederhana agar mampu bertahan di tengah sepinya pesanan, mereka memakai sistem subsidi silang.

“Kami pakai sistem subsidi silang. Mana yang masih banyak, misalnya stamping poly, itu yang menopang. Kalau nggak, mana bisa bertahan,” ucapnya.

Ia menyebutkan, sebagian toko percetakan di sana memang tutup. Namun sebagian lainnya tetap membuka percetakan, tapi pindah ke daerah lain.

“Ini yang di depan toko, tetap dia buka percetakan. Tapi di (daerah) Padang Bulan dia bukanya,” kata Saifuddin.

Saifuddin mengaku, dunia digital yang makin berkembang pesat menjadi salah satu penyebab redupnya bisnis percetakan. Namun, kata dia, usahanya mulai merosot sejak pandemi Covid-19 dan terus berlanjut hingga hari ini. “Turun kali karena medsos-medsos ini,” keluhnya.

Menurutnya, perubahan perilaku konsumen juga menjadi salah satu penyebab. “Sekarang orang-orang udah nggak perlu cetak 1.000 undangan lagi. Anak-anak muda kan lebih pintar main HP, tinggal pakai undangan online,” tutur pemilik toko Ari Sablon itu.

Pekerjanya, Anto, juga merasakan hal serupa. Ia yang sudah bekerja kurang lebih 14 tahun di sana, mengaku penurunan kali ini yang paling parah.

“Berdampak, sangat menurun dan tentu berpengaruh ke pendapatan. Ini yang paling hebat penurunannya,” ucapnya.

Meski demikian, ia memilih untuk tetap bertahan di sana. “Kalau memutuskan berhenti, nanti malah nggak bisa makan. Cari kerja sekarang kan susah,” ujarnya lirih.

Sentra percetakan di Jalan Mesjid, Kelurahan Kesawan, Medan Barat, Kota Medan. Aktifitas percetakan yang kini nyaris mati di tengah disrupsi digital . (f:susan/mistar)

Anto yang dulu bekerja sebagai kuli sudah merasa lebih nyaman bekerja di percetakan itu. Ia tidak ingin kembali berjuang mati-matian mencari kerja di tengah sulitnya perekonomian saat ini.

“Kalau diceritakan ya sedih lah, ini aja sampai merinding aku,” tuturnya dengan tawa kecil, sembari merapikan beberapa kertas.

Peminat Percetakan Offline Masih Ada

Sementara itu, seorang pekerja di Percetakan Berkah Jaya, Gendra Wahyudi, menyebutkan banyak pengguna undangan online di kalangan anak muda. Namun, undangan fisik akan tetap dibutuhkan sebagian kalangan, terutama ibu-ibu dan orang tua yang tidak paham menggunakan gawai.

Dari sisi konsumen, Dewi (25), yang sebelumnya acap kali mencetak sablonan kaos untuk organisasi di percetakan offline, mengaku mulai beralih ke layanan online. Ia menyebut sejak awal 2024 mulai mencoba belanja online.

“Karena harganya jauh lebih murah, bisa beda Rp10 ribu. Walau kualitas beda, tapi gambar sablonnya masih sesuai sama pesanan,” katanya.

Namun, tidak semua konsumen meninggalkan percetakan offline. Black (38), mengaku lebih nyaman memesan langsung. Ia biasanya memesan stiker untuk jualannya dengan perkiraan waktu sekali sebulan.

“Tapi bulan ini, sudah dua kali aku pesan. Kalau pesan offline lebih cepat, satu hari siap. Kalau online, kadang pengiriman lama dan kita nggak tahu hasilnya,” ujar pengusaha toko gelang itu.

Kini Black juga tengah merambah ke bisnis kaos sablonan yang akan bekerja sama dengan percetakan offline.

#Disrupsi Digital

Pengamat ekonomi dari Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Gunawan Benjamin, menilai perubahan ini merupakan bagian dari disrupsi ekonomi di era digital.

“Teknologi sudah mengganti peran usaha percetakan ikonik di Kota Medan,” kata Gunawan, Selasa (2/9/25).

Perubahan ini, kata Gunawan, tak terhindarkan dan menuntut pelaku usaha untuk beradaptasi. Namun, migrasi ke usaha lain bukanlah hal mudah, terutama di tengah kondisi ekonomi yang melambat.

Meskipun demikian, dari sekian banyak sektor, pertanian masih dianggap menjanjikan dan mampu bertahan bahkan di tengah kondisi ekonomi yang memburuk.

“Tidak ada satu pun usaha yang benar-benar tidak terdampak oleh digitalisasi,” tuturnya.

Pengamat Ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU), Wahyu Ario, menambahkan fenomena ini merupakan dampak langsung dari pergeseran pola hidup masyarakat ke era digital.

“Teknologi digital menggeser peran percetakan tradisional,” kata Wahyu kepada Mistar, Kamis (4/9/25).

Wahyu menjelaskan, keruntuhan bisnis percetakan sebenarnya sudah berakar sejak Revolusi Industri 4.0, tepatnya sekitar tahun 2011–2015, ketika kebutuhan cetak fisik mulai beralih ke bentuk digital yang lebih efisien.

“Kondisi ini diperparah saat pandemi Covid-19, ketika masyarakat semakin terbiasa menggunakan gawai dan platform digital untuk komunikasi dan promosi,” ucapnya.

Selain faktor teknologi, keruntuhan sentra percetakan ini juga dipercepat oleh lesunya daya beli masyarakat dan persaingan ketat dari percetakan modern berbasis mesin digital skala besar di luar kawasan.

“Tidak adanya kebijakan pemerintah yang spesifik untuk melindungi dan menata ulang kawasan ini juga mempersulit adaptasi,” ujarnya.

Meskipun demikian, Wahyu Ario menilai masih ada peluang bagi pelaku percetakan untuk bertahan. Salah satunya dengan beradaptasi ke percetakan digital on demand, seperti memproduksi kemasan UMKM, merchandise, atau cetakan personal seperti photobook.

“Ruko-ruko yang kosong juga dapat dimanfaatkan untuk bisnis baru berbasis teknologi, seperti e-commerce atau logistik. Dengan beralih ke layanan cetak personalisasi melalui aplikasi atau website, diharapkan Jalan Mesjid bisa kembali hidup sebagai kawasan ekonomi kreatif yang relevan dengan era digital,” tuturnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), Sunarji Harahap, mengatakan perubahan ini menuntut para pelaku bisnis percetakan untuk beradaptasi dan seharusnya melihat digitalisasi sebagai peluang baru. Salah satu cara adalah dengan mengadopsi e-commerce untuk memperluas jangkauan pasar.

“Dengan begitu, jasa cetak mereka tidak lagi terbatas pada area sekitar, melainkan bisa diakses oleh pelanggan dari mana saja,” ucapnya.

Selain itu, Sunarji menyarankan para pengusaha untuk menerapkan konsep Print on Demand (POD). Konsep ini memungkinkan pencetakan dilakukan berdasarkan pesanan, sehingga mengurangi risiko kerugian akibat kelebihan stok dan memungkinkan produk yang lebih personal.

Sentra percetakan di Jalan Mesjid, Kelurahan Kesawan, Medan Barat, Kota Medan. Aktifitas percetakan yang kini nyaris mati di tengah disrupsi digital . (f:susan/mistar)

“Pelaku bisnis percetakan tidak bisa lagi hanya mengandalkan metode manual. Mereka harus memperluas bidang usaha ke ranah digital untuk bisa bertahan dan berkembang di tengah persaingan,” ujarnya.

Siap Membina

Terpisah, Kadis Koperasi UKM Perdagangan dan Perindustrian Kota Medan, Benny Iskandar Nasution, menyebut Pemko Medan akan senantiasa membantu para pelaku usaha yang mengalami kesulitan mendapatkan pasar.

“Saat ini kita memang belum ada fokus ke sana. Namun sebagai pemerintah, ini akan menjadi perhatian kita untuk dicarikan solusi terbaiknya,” ucap Benny kepada Mistar, Rabu (3/9/25).

Benny mengatakan, kondisi yang mengakibatkan para pelaku usaha percetakan di Jalan Mesjid belum terfasilitasi lantaran banyak yang belum menjadi binaan Dinas Koperasi UKM Perdagangan dan Perindustrian Kota Medan.

Keuntungan lainnya, sambung Benny, para pelaku usaha yang berada di bawah binaan Pemko Medan akan dimasukkan ke sistem e-katalog.

“Kalau sudah masuk e-katalog tentu pasarnya akan lebih banyak. Kita juga akan menginformasikan kepada instansi lain soal percetakan agar memesan ke binaan kita,” ujarnya.

Untuk mendaftar, para pelaku usaha cukup datang ke kantor Dinas Koperasi UKM, menunjukkan lokasi usaha, dan langsung masuk sebagai binaan. Pemerintah akan mencarikan solusi.

Sementara itu, Kadisnaker Kota Medan, Illyan Chandra Simbolon, saat dikonfirmasi Mistar mengatakan, pihaknya hanya melakukan pelatihan terhadap para pencari kerja.

“Kalau percetakan mungkin kita lebih ke up-skilling digital,” ucapnya. (susan/amita/rahmat)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN