Bappenas: Sumut Rawan Dampak Iklim, Potensi Kerugian Ekonomi Capai Rp9 Triliun

Foto bersama dalam dialog memperkuat kolaborasi multipihak dalam akselerasi PRKBI. (foto: susan/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Deputi Pangan, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Leonardo AA Teguh Sambodo, mengungkapkan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) termasuk dalam 10 besar provinsi di Indonesia dengan potensi kerugian ekonomi tertinggi akibat bahaya iklim.
Dalam periode 2020–2024, potensi kerugian ekonomi Sumut akibat krisis iklim diperkirakan mencapai Rp9,03 triliun, khususnya di sektor air, pertanian, dan pesisir.
“Tanpa langkah konkret, risiko sosial, lingkungan, dan ekonomi akan terus meningkat,” ujar Leonardo dalam paparannya melalui video yang ditayangkan pada Dialog Multipihak Akselerasi PRKBI, Kamis (28/8/2025).
Target Nasional: Net Zero Emission 2060
Leonardo menjelaskan, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2045 yang telah disahkan melalui UU No. 59 Tahun 2024, Indonesia menargetkan transisi menuju net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Target tersebut dipertegas dalam RPJMN 2025–2029 yang dituangkan dalam Perpres No. 12 Tahun 2025, menempatkan ekonomi hijau sebagai salah satu pilar utama pembangunan nasional, bersama ketahanan pangan, energi, air, dan ekonomi digital.
“Pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim bukan hanya soal penurunan emisi, tapi juga pertumbuhan ekonomi berkelanjutan hingga 8 persen, penciptaan lapangan kerja hijau, dan investasi hijau,” katanya.
Tantangan Serius di Sumatera Utara
Bappenas mencatat emisi karbon di Sumut pada 2020 mencapai 73,2 juta ton ekuivalen CO₂, dengan kontribusi terbesar berasal dari sektor energi 65,8%, lahan gambut 16,8%, FOLU (Forestry and Other Land Use) 8,6%, dan pertanian 4,1%.
Jumlah bencana iklim di Sumut juga terus meningkat, dari 562 kejadian pada 2023 menjadi 677 kejadian pada 2024—didominasi banjir, tanah longsor, karhutla, dan gelombang pasang.
Dampaknya meluas ke lintas sektor. Produksi padi turun hingga 15% saat El Nino 2023, deforestasi mencapai 23 ribu hektar per tahun, ketersediaan air menurun 12,3% pada 2024, sebanyak 89% kebutuhan energi masih bergantung pada energi fosil. Selain itu, enam wilayah pesisir masuk kategori bahaya tinggi, dengan 40% garis pantai berisiko abrasi.
Untuk menjawab tantangan tersebut dan mewujudkan agenda penurunan intensitas emisi gas rumah kaca menuju net zero emission dan indeks kualitas lingkungan hidup ini, Teguh memaparkan strategi terpadu pembangunan rendah karbon yang menyentuh berbagai sektor.
Sektor energi fokus diarahkan pada transisi menuju energi terbarukan, efisiensi energi, dan transportasi hijau. Sementara di sektor lahan yaitu pengendalian deforestasi, rehabilitasi hutan dan mangrove, pertanian berkelanjutan, serta tata kelola pesisir.
Di sektor industri dan sampah strategi yang dilakukan adalah penerapan teknologi rendah emisi, pengelolaan limbah industri, daur ulang dan prinsip-prinsip ekonomi sirkular.
Sejalan dengan itu, pembangunan berketahanan iklim ditempatkan sebagai prioritas yang penting. Arah kebijakan ini mencakup perlindungan wilayah pesisir dari abrasi dan kenaikan air laut, penguatan ketahanan air melalui modernisasi irigasi dan tata kelola sumber daya air, pengembangan pertanian adaptif untuk menjamin ketahanan pangan, hingga peningkatan sistem kesehatan masyarakat guna menghadapi penyakit yang muncul akibat perubahan iklim.
Namun, ia menekankan seluruh upaya tersebut tidak dapat berhenti pada tingkat perencanaan nasional saja. Kunci keberhasilan juga ada pada perencanaan dan implementasi di daerah.
“Pemerintah daerah perlu menjabarkan target nasional ke dalam RPJPD, RPJMD, dan APBD masing-masing. Agar kebijakan rendah karbon dan berketahanan iklim benar-benar menyatu dengan agenda pembangunan daerah,” tuturnya. (susan/hm24)