Kandersteg Siaga Bencana: Inovasi Swiss Hadapi Ancaman Longsor Alpen

Pemandangan drone menunjukkan Oeschiwand (Tembok Oeschi) di Sungai Oeschibach, melindungi desa dari banjir bandang dan batu jatuh dari Spitzen Stein di Oeschinensee, karena perubahan iklim dan pemanasan permafrost menimbulkan tantangan yang meningkat di Kendersteg, Swiss, 26 Juni 2025. (f:reuters/mistar)
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Tragedi longsor yang menghancurkan Desa Blatten di Swiss pada akhir Mei 2025 mendorong perhatian serius terhadap kesiapsiagaan bencana di kawasan Pegunungan Alpen, khususnya di Kandersteg, sebuah resor pegunungan yang terletak tidak jauh dari lokasi kejadian.
Desa Blatten, yang berpenduduk sekitar 300 orang, berhasil dievakuasi sebelum longsoran besar es, tanah, dan batu menghantam wilayah tersebut akibat runtuhnya sebagian gletser.
Peristiwa ini menimbulkan kekhawatiran luas tentang dampak pencairan permafrost—lapisan tanah beku abadi—yang mulai melemahkan struktur bebatuan Alpen karena pemanasan global.
Dilansir Reuters, Wali Kota Kandersteg, Rene Maeder, menyatakan bahwa kejadian di Blatten menjadi peringatan keras. Namun, ia yakin desanya siap menghadapi ancaman serupa berkat sistem pemantauan canggih yang mencakup GPS, radar, dan drone.
“Kami secara aktif memantau pergerakan gunung Spitzer Stein. Sensor menunjukkan bahwa gunung dapat bergeser hingga 70 cm per hari. Jika terjadi pergerakan besar, warga akan menerima peringatan minimal 48 jam sebelumnya,” ujar Maeder.
Sejak 2018, Spitzer Stein telah menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan. Penelitian dari Institute for Snow and Avalanche Research menyebut bahwa struktur bebatuan yang telah stabil selama 3.000 tahun kini mulai aktif kembali akibat perubahan iklim.
Kandersteg, dengan populasi sekitar 1.400 jiwa, telah menginvestasikan lebih dari 11 juta franc Swiss (sekitar Rp220 miliar) untuk infrastruktur kesiapsiagaan bencana, termasuk pembangunan bendungan untuk memperlambat banjir serta sistem komunikasi langsung dengan warga melalui WhatsApp dan email.
Meski berada di zona merah—area dengan risiko tertinggi—warga seperti Patrick Jost, Kepala Kantor Pariwisata Kandersteg, mengaku tetap merasa aman berkat kepercayaan terhadap teknologi dan sistem evakuasi yang dirancang dengan matang.
“Kami masih bisa tidur nyenyak,” ujarnya.
Latihan evakuasi penuh pertama di Kandersteg dijadwalkan berlangsung tahun depan. Sementara itu, warga seperti Rudi Schorer (77 tahun) telah menyiapkan tas darurat berisi identitas, pakaian, dan barang penting lainnya.
“Koper siaga sudah tersedia di rumah. Itu anjuran resmi, dan kami ikuti,” katanya.
Peristiwa Blatten yang menimbulkan kerugian asuransi sekitar 320 juta franc Swiss menjadi pengingat nyata bahwa kawasan Alpine tidak lagi kebal terhadap ancaman bencana alam.
Kandersteg kini menjadi contoh bagaimana desa pegunungan memanfaatkan teknologi untuk bertahan di tengah tantangan perubahan iklim. (*)