Monday, June 23, 2025
home_banner_first
INTERNATIONAL

China dan Rusia Tampilkan Diri sebagai Penengah Damai di Tengah Ketegangan Israel-Iran

journalist-avatar-top
Senin, 23 Juni 2025 10.47
china_dan_rusia_tampilkan_diri_sebagai_penengah_damai_di_tengah_ketegangan_israeliran

Presiden China Xi Jinping (kanan) dan Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri). (f:ist/mistar)

news_banner

Hong Kong, MISTAR.ID

Di tengah memuncaknya ketegangan antara Israel dan Iran, serta pertimbangan keterlibatan militer Amerika Serikat, Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin tampil sebagai figur yang menyerukan deeskalasi dan stabilitas.

Dilansir dari CNN, dalam percakapan telepon yang digelar Kamis lalu, kedua pemimpin menyampaikan kritik tajam terhadap Israel dan mendorong penyelesaian damai atas konflik Timur Tengah yang kian memburuk.

Kremlin melaporkan Xi dan Putin sepakat mengutuk tindakan Israel, menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan norma hukum internasional.

Meski begitu, dalam versi pernyataan dari Beijing, Xi menyampaikan nada lebih moderat, menyerukan gencatan senjata terutama kepada Israel, tanpa mengutuk langsung seperti yang dilakukan Menteri Luar Negeri China Wang Yi dalam pembicaraan sebelumnya dengan Iran.

Xi juga mengirim sinyal kepada Presiden AS Donald Trump agar kekuatan besar yang terlibat menggunakan pengaruhnya untuk menurunkan tensi, bukan memanaskannya. Pernyataan ini dinilai sebagai sindiran terhadap rencana AS bergabung dalam serangan terhadap Iran bersama Israel.

Kebijakan Trump di Timur Tengah mendapat sorotan tajam dari para akademisi China. Liu Zhongmin, pengamat dari Universitas Studi Internasional Shanghai, menilai gaya kepemimpinan Trump yang transaksional dan oportunistik telah merusak kredibilitas AS di kawasan.

"Trump telah melemahkan kemampuan AS untuk memimpin, bahkan di mata sekutunya sendiri," tulis Liu dalam media pemerintah.

Keterlibatan AS dalam konflik baru dipandang sebagai risiko terjerumusnya negeri itu dalam perang tanpa akhir lainnya di Timur Tengah. Padahal, di awal masa jabatan keduanya, Trump berkomitmen mengalihkan fokus ke Indo-Pasifik untuk menghadapi ekspansi China.

China sendiri tidak berkepentingan melihat Iran jatuh dalam konflik besar. Di bawah kepemimpinan Ayatollah Ali Khamenei, Iran telah menjadi kekuatan penting di Timur Tengah, sekaligus mitra strategis China dalam banyak bidang.

Beijing dan Teheran selama ini menjalin hubungan erat, dari impor minyak hingga kerja sama militer. Iran bahkan telah bergabung dalam blok BRICS dan Organisasi Kerja Sama Shanghai, dua forum global yang dipimpin oleh China dan Rusia untuk melawan dominasi AS.

Selain itu, Iran menjadi simpul penting dalam Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) yang digagas China, terutama melalui kedekatannya dengan Selat Hormuz dan pelabuhan strategis Gwadar di Pakistan.

Dengan latar ini, China menawarkan diri sebagai mediator damai dalam konflik Israel-Iran. Xi Jinping mengusulkan empat langkah utama dalam upaya menurunkan ketegangan, termasuk penyelesaian isu nuklir Iran melalui dialog dan perlindungan terhadap warga sipil.

Sementara itu, diplomasi China terus bergerak. Menlu Wang Yi aktif melakukan pembicaraan dengan mitranya dari Iran, Israel, Mesir, dan Oman dalam pekan terakhir. Namun pengamat menilai, belum jelas seberapa besar kapasitas Beijing dalam menjembatani konflik Timur Tengah yang kompleks dan berkepanjangan.

Sebelumnya, China juga pernah mengirim utusan khusus untuk memediasi perang di Gaza upaya yang hingga kini tidak menunjukkan hasil signifikan. Keterbatasan pengalaman dan minimnya pengaruh politik maupun militer China di kawasan menjadi tantangan tersendiri.

Lebih jauh lagi, Beijing dituding bersikap ganda. Dalam konflik Ukraina, alih-alih bersikap netral, China justru memberikan dukungan diplomatik dan ekonomi bagi Rusia, sambil tetap mengklaim diri sebagai penengah damai.[]

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN