Sekolah Belum Teraliri Listrik, Pemerhati Pendidikan: Pemerintah Harus Bertindak


Pemerhati pendidikan, Doni Koesoema A. (f: ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Pemerhati pendidikan nasional, Doni Koesoema A, menyuarakan keprihatinannya terhadap sejumlah sekolah yang hingga kini masih belum memiliki akses listrik.
Menurut Doni, situasi ini sangat memprihatinkan di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan digitalisasi pendidikan yang sedang digencarkan pemerintah.
“Di era seperti sekarang, keberadaan listrik bukan lagi kebutuhan sekunder, tetapi sangat mendasar untuk menunjang proses belajar-mengajar. Tanpa listrik, pembelajaran digital jelas tidak mungkin dilakukan, dan kegiatan belajar juga terbatas pada siang hari saja,” ujarnya, Selasa (6/5/2025).
Dosen Universitas Multimedia Nusantara itu menambahkan, ketiadaan listrik menjadi hambatan besar dalam pemerataan pendidikan, terutama dalam penerapan model pembelajaran modern berbasis teknologi yang sedang didorong pemerintah pusat.
Doni yang merupakan lulusan Boston College, AS, tahun 2008, menilai bahwa ketimpangan akses ini mengancam kesetaraan kualitas pendidikan nasional.
“Sekolah-sekolah tanpa listrik perlu mendapat perhatian khusus. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus bertanggung jawab dan mencari solusi, termasuk bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen),” ungkap pendiri Pendidikan Karakter Education Consulting itu.
Ia menyarankan, pemerintah bisa mempertimbangkan solusi alternatif seperti pemasangan panel surya untuk memenuhi kebutuhan listrik sekolah-sekolah di daerah terpencil.
Salah satu contoh nyata kondisi ini terjadi di SD Negeri 095170 Sinar Baru, Kabupaten Simalungun. Sekolah yang berdiri sejak 1 Januari 1970 tersebut belum pernah dialiri listrik.

SD Negeri 095170 Sinar Baru di Simalungun tanpa listrik dan bangunan yang sudah rusak. (f: indra/mistar)
Setiap pagi, sebanyak 70 siswa dari Nagori Sinar Baru harus berjalan kaki sejauh dua kilometer menyusuri jalan tanah demi mendapatkan pendidikan di satu-satunya sekolah yang tersedia di wilayah itu.
Meski fasilitas sangat terbatas, proses belajar-mengajar tetap berlangsung berkat dedikasi enam guru kelas dan satu guru mata pelajaran yang berstatus ASN dan PPPK. Namun, tanpa adanya penerangan, kipas angin, atau akses ke perangkat digital, kegiatan belajar sangat bergantung pada kondisi cuaca.
Kepala sekolah, Minan Saragih, mengungkapkan bahwa pihaknya sudah berulang kali mengusulkan pemasangan listrik, namun hingga kini belum terealisasi. “Kendalanya selalu sama, yaitu syarat teknis dari PLN yang belum bisa dipenuhi,” ujarnya.
Sekolah memang memiliki satu unit genset, namun penggunaannya sangat terbatas karena keterbatasan biaya operasional. Akibatnya, operator sekolah, Rijal Parulian Girsang, harus membawa laptop ke rumah untuk mengisi daya dan mencari sinyal guna menyelesaikan laporan-laporan digital yang diwajibkan oleh pemerintah. (susan/hm24)